HEPATITIS ?
Hepatitis adalah suatu proses peradangan menyeluruh pada
jaringan hepar (hati atau disebut juga liver), yang memberikan
gejala klinis yang khas yaitu :
- badan lesu dan lemah
- kencing berwarna seperti air teh pekat
- mata dan seluruh bahan menjadi kuning.
Berdasarkan penyebabnya hepatitis dibagi menjadi :
- Hepatitis Virus A, B, C dan Delta
- Hepatitis Bakteri
- Hepatitis Medikamentosa.
Hepatitis C disebut juga dengan hepatitis Non-A non-B.
Khusus hepatitis virus Delta, tidak akan saya bahas, karena
jenis ini daerah penyebaran penyakitnya bukan di Indonesia,
tapi terbatas di Itali, Amerika Selatan (Amazon & Venezuela),
Amerika Utara, Eropa Barat, Eropa Utara, Australia, Afrika
(Kenya & Senegal), Turki dan Kuwait. Cara penularan
Hepatitis virus Delta itu sama persis dengan penularan
Hepatitis Virus B.
Bila kita berbicara tentang Hepatitis, maka pada umumnya
asosiasi kita adalah hepatitis akut yang disebabkan oleh
virus A, B, atau C, karena memang kasus hepatitis virus
lebih sering atau lebih tinggi angka kejadiannya ketimbang
hepatitis bakteriel maupun hepatitis medikamentosa.
I. HEPATITIS VIRUS AKUT
A. GEJALA HEPATITIS VIRUS AKUT
Gejala hepatitis virus akut itu bervariasi, mulai dari tingkat
ringan sampai yang terberat, bahkan sampai yang fatal.
Namun demikian, semua hepatitis virus mempunyai gejala
dan perjalanan penyakit yang serupa, yaitu dapat dibagi atas
empat periode yaitu :
- masa sebelum ikterik
- masa ikterik
- masa konvalesensi (penyembuhan)
Ikterik adalah keadaan yang ditandai dengan mata yang
berwarna kuning dan warna kemih seperti air teh pekat.
a. Masa sebelum ikterik
Keluhan penderita hepatitis virus akut, baik A, B maupun C,
pada umumnya tidak khas, yaitu keluhan yang disebakan oleh
virus yang berlangsung sekitar 2-7 hari.
Nafsu makan menurun merupakan keluhan yang pertama kali
timbul, kemudian disusul dengan rasa mual dan kadang disertai
muntah-muntah. Perut kanan bagian atas atau daerah ulu hati
dirasakan sakit.
Disamping itu penderita mengeluh seluruh badan pegal-pegal,
terutama di pinggang, bahu dan merasa lesu atau lemah badan,
merasa lekas capai terutama sore hari. Suhu badan naik hingga
sekitar 39 derajat C yang bisa berlangsung selama 2-5 hari.
Ada kemungkinan penderita merasa nyeri kepala yang hebat
terutama di dahi yang bisa disertai dengan rasa kaku di leher.
Kadang penderita mengeluh nyeri sendi-sendi lutut, siku,
pergelangan tangan, kaki, sehingga seolah-olah sedang
menderita radang sendi atau Artritis. Gatal-gatal di seluruh
tubuh, ditemukan pada 10-20 % penderita. Keluhan gatal-
gatal ini menyolok terutama pada penderita hepatitis virus B.
2. Masa ikterik (kuning).
Pada masa ini suhu badan sudah mulai turun, warna air kemih
akan tampak menjadi berwarna seperti air teh pekat. Keluhan
ini biasanya yang pertama kali diutarakan oleh penderita kepada
dokter. Kadang-kadang warna tinjanya menjadi lebih pucat
keputihan.
Mata penderita pada bagian putihnya tampak berwarna kuning.
Perubahan warna ini kadang disertai rasa gatal di seluruh
badan yang berlangsung beberapa hari saja. Selama minggu
pertama masa ikterik ini, warna kuning ini akan terus
meningkat, kemudian menetap dan baru berkurang setelah
10-14 hari.
Pada masa ini penderita masih mengeluh mual, kadang muntah,
sakit perut kanan atas, dan nafsu makan yang tetap menurun.
Keluhan ini dirasakan selama sekitar 7-10 hari, dan kemudian
disusul dengan timbulnya kembali nafsu makan yang disertai
berkurangnya tanda-tanda ikterik (kuning).
Rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1-2 minggu.
Setelah timbulnya nafsu makan dan berkurangnya ikterus,
penderita akan merasa segar kembali.
c. Masa Penyembuhan.
Fase penyembuhan dari hepatitis virus akut A,B, maupun C
dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterik, hilangnya
rasa mual, dan rasa sakit ulu hati, kemudian disusul dengan
bertambahnya nafsu makan, yaitu rata-rata 14-16 hari setelah
timbulnya masa ikterik.
Demikian juga warna air kemih tampak menjadi normal.
Penderita mulai merasa segar kembali, namun demikian
penderita masih merasa lemah dan lekas capai. Pada
umumnya fase penyembuhan itu, baik secara klinis dan
biokimia, biasanya memakan waktu sekitar 6 bulan setelah
timbulnya penyakit.
Karena gejala hepatitis virus ini serupa maka untuk
membedakannya harus dilakukan pemeriksaan laboratorium
darah. Pada Hepatitis virus A akan ditemukan Imunoglobulin
M Anti HAV dan HA Antigen yang positif di dalam darah.
Sedangkan pada hepatitis virus B di dalam darah penderita
pada masa sebelum ikterik akan ditemukan HBsAg, HBeAg,
dan Anti HBc yang positif.
Pada masa penyembuhan hepatitis B akan ditemukan antibodi
(zat kekebalan terhadap hepatitis B) berupa Anti HBc, Anti
Hbe dan Anti Hbs yang positif di dalam darah. Pada Hepatitis
C ditemukan Anti HCV dan peningkatan kadar SGPT di
dalam darah.
PENULARAN ?
Sebenarnya tentang penularan Hepatitis Virus, pernah saya
tulis di milis HBE, kecuali hepatitis bakteri dan hepatitis
medikamentosa. Supaya lebih lengkap, tentang penularan
Hepatitis Virus pun akan kembali saya tulis ulang yang
kemudian disambung dengan hepatitis bakteri dan
medikamentosa.
1. Penularan Hepatitis Virus A
Hepatitis Virus A tidak ditularkan lewat darah, tidak pernah
dilaporkan adanya penderita hepatitis A pasca transfusi.
Artinya tidak pernah terjadi kasus penderita hepatitis A pada
orang yang pernah mendapat transfusi darah dari donor darah
yang mengidap virus heptitis A.
Penularan Hepatitis A adalah melalui tinja ke mulut (faecal oral)
maksudnya dengan perantaraan makanan atau minuman yang
tercemar oleh virus A hepatitis yang berasal dari tinja penderita
Hepatitis A.
Masa inkubasi virus A ini di dalam tubuh : 2-6 minggu. Virus
ini mengadakan replikasi dalam sel-sel hati penderita, kemudian
dibuang ke dalam usus dan dikeluarkan bersama tinja mulai
sekitar 2 minggu sebelum dan seminggu masa ikterik ( mata
dan kulit berwarna kuning). Jadi virus A ditemukan di dalam
tinja pada akhir masa inkubasi sampai fase permulaan
munculnya warna kuning di kulit dan mata (ikterik).
Penyebaran virus menghilang dengan cepat setelah
tanda-tanda warna kuning di tubuh (ikterus) sudah
tampak jelas. Jadi keadaan menularnya pada seorang
penderita hepatitis virus A itu terjadi sebelum
munculnya warna kuning di seluruh tubuh. Jadi kalau
sudah muncul warna kuning maka potensi menularnya
menjadi berkurang, tapi ini khusus untuk hepatitis
virus A saja.
Secara epidemiologis, Hepatitis Virus A (HVA) dapat
timbul secara epidemi, tapi dapat juga secara sporadis.
Untuk negara kita, penyebaran Hepatitis virus A terjadi
sepanjang tahun dan umumnya bersifat endemis. Hal
ini karena disebabkan sanitasi dan kesehatan lingkungan
yang kurang baik.
Terbukti dari sebagian besar penderita Hepatitis A berasal
dari mereka yang bertempat tinggal di daerah yang padat
dengan sistem pembuangan air limbah yang jelek. Misal
mereka yang menjadikan sungai sebagai MCK raksasa.
Mandi di sana, buang hajat di sana, kencing disana, gosok
gigi disana, cuci lalaban & buah-buahan di sana, cuci
beras di sana, cuci gelas & piring di sana, dsb.
2. Penularan Hepatitis B
Penyakit Hepatitis Virus B ( HVB) sudah dapat ditularkan
kepada semua orang dan semua kelompok umur. Dengan
percikan sedikit darah yang mengandung virus hepatitis B
kepada kulit orang sehat meski tak sengaja, dapat menularkan
penyakit HVB.
Jadi demikian hebat penularan HVB ini. Hal yang perlu
diketahui bahwa orang yang pernah menderita HVB
berpeluang menderita sirosis hati ataupun kanker hati (liver).
Itulah sebabnya, sekarang imunisasi hepatitis B menjadi
program nasional bagi anak balita, agar tidak ada lagi
generasi yang terkena sirosis atau kanker liver. Kanker
ataupun sirosis hati sama-sama mematikan.
Pada umumnya cara pemularan dari HVB adalah melalui
darah. Semula penularan HVB diasosiasikan dengan
transfusi darah atau produk darah melaui jarum suntik.
Tetapi setelah ditemukan bentuk dari HVB makin banyak
laporan yang ditemukan cara penularan lainnya.
Hal ini disebabkan karena HVB dapat ditemukan dalam setiap
cairan yang dikeluarkan dari tubuh penderita atau pengidap
penyakit, misal melaui darah, air liur, air seni, keringat ,
air mani pria, cairan vagina, air susu ibu, air mata, dan
lain-lain.
Oleh karena itu dalam cara penularan HVB dikenal istilah
penularan horizontal dan vertikal disamping penularan
perkutan (via kulit) dan non-kutan (tidak via kulit).
Di daerah endemik berat, HVB bisa juga ditularkan oleh
nyamuk yang sebelumnya menggigit penderita HVB. Kutu
busuk, ataupun parasit lainnya berpeluang juga menularkan
HVB. Cara penularan tersebut disebut penularan per-kutan
atau lewat kulit.
Sedangkan cara penularan non-kutan di antaranya adalah
melalui air mani dari pria, cairan vagina yaitu pada saat
kontak hubungan seksual (baik homoseks maupun
heteroseks) dengan pengidap HVB, atau bisa juga melaui
air ludah yaitu ketika bercium-ciuman dengan penderita
ataupun pengidap virus B, juga bisa dengan bertukar pakai
sikat gigi dengan penderita ataupun pengidap (HVB tanpa
gejala), dll.
Cara penularan horizontal ialah : transfusi darah yang
terkontaminasi oleh virus HVB, seperti pada mereka
yang sering mendapat hemodialisa (cuci darah) , ataupun
transfusi seumur hidup misal pada penyakit thalasemia.
Selain itu HVB bisa masuk atau menular lewat luka atau
lecet pada kulit dan selaput lendir, misalnya tertusuk jarum
atau benda tajam, menindik daun telinga buat pasang
anting-anting, pembuatan tatoo, pengobatan tusuk jarum
(akupunktur), kebiasaan menyuntik sendiri pada morfinis
atau pengguna obat suntik diabetes yang menggunakan
jarum suntik yang tidak steril.
Penggunaan alat-alat kedokteran dan alat-alat perawatan
gigi yang sterilisasinya kurang sempurna atau kurang
memenuhi syarat, bisa menularkan HVB.
Penularan bisa juga terjadi melalui penggunaan alat cukur
ataupun garuk konde yang sering dipakai rame-rame.
Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagi penularan
infeksi dari seseorang ibu pengidap (HVB tanpa gejala)
maupun penderita HVB kepada bayinya yang sedang
dikandungnya, baik sebelum melahirkan, pada saat
melahirkan, ataupun beberapa saat setelah melahirkan.
Apabila seorang ibu menderida HVB akut pada saat 3
bulan pertama usia kehamilan, maka bayi yang baru
dilahirkan akan tertulari. Resiko infeksi pada bayi
dari seorang ibu pengidap HBsAg positif, menunjukan
peluang berkisar 10-80 % tertular.
Basley (1982) berkesimpulan bahwa adanya
"fenomena lingkaran setan" pada ibu hamil dengan
HbsAg positif (artinya di dalam darah ibu terdapat
virus HVB, meskipun sang ibu tidak menunjukkan
gejala sakit HVB (pengidap).
50 %
------------->---------------->---------------->-------v
:
^
: 14 % 50% pria :
ibu pengidap ----> penyakit liver <------- bayi pengidap
HBs Ag (+) hingga meninggal HbsAg (+)
:
^
: gadis
------------- <--------------- <-----------------< -----v
diagram " lingkaran setan " Beasley
Seorang ibu pengidap HBsAg positif akan menularkan
pada bayinya yang baru dilahirkan dengan peluang
sekitar 50%. Apalagi bila si ibu tadi disertai dengan
HBe Ag positif (artinya virus HVB sedang aktif
menyerang), maka akan menularkan 100% kepada
bayinya.
Bayi yang dilahirkan nantinya akan menjadi pengidap
HVB (tanpa gejala). Bila bayi yang lahir itu seorang
gadis, maka kelak dikemudian hari ketika dewasa,
ia akan menjadi seorang ibu pengidap.
Sisanya 50 % bayi yang tertulari akan menderita hepatitis
kronis, dan berpeluang besar akan menderita sirosis hati
ataupun menderita kanker hati, serta dalam relatif singkat
akan meninggal karena penyakit hati yang dideritanya.
Sekitar 14% dari ibu pengidap, berpeluang besar akan
meninggal sebagai akibat penyakit hati yang dideritanya.
Infeksi pada bayi dapat terjadi bila ibu menderita hepatitis
akut pada tiga bulan pertama usia kehamilan, atau bila ibu
adalah pengidap (pembawa) virus dengan HBsAg positif.
Sedangkan bila ibu menderita HVB akut pada tiga bulan
pertama usia kehamilan, biasanya akan terjadi abortus
(keguguran).
Air susu ibu meskipun ternyata mengandung HBsAg
dalam jumlah sedikit, namun peranan ASI dalam
infeksi sesudah melahirkan masih diragukan, karena
insiden infeksi pada bayi dari ibu pengidap yang memberi
ASI tidak menunjukan angka yang berbeda dengan ibu
yang tidak memberi ASI, sehingga tidak ada alasan untuk
tidak menganjurkan pemberian ASI. Kecuali bila ibu
menderita HVB akut pada saat periode pemberian ASI,
maka dianjurkan untuk tidak memberikan ASI.
Dari data-data laporan penelitian HVB, maka dikenal
kelompok resiko tinggi yang mudah tertular, yaitu :
1. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, apalagi
bila disertai dengan HBeAg positif, maka sudah pasti akan
tertular HVB
2. Lingkungan penderita ataupun pengidap (HVB tanpa gejala)
dengan HBsAg positif terutama anggota keluarga atau mereka
yang serumah dan selalu berhubungan langsung.
3. Tenaga medis, paramedis, petugas laboratorium klinik,
yang selalu kontak langsung dengan penderita HVB. Dari
kelompok ini yang terbanyak ditemukan adalah petugas di
unit bedah, kebidanan, gigi, petugas hemodialisa (cuci
darah) dll.
4. Calon pasien bedah, pasien gigi, penerima transfusi darah
termasuk penderita thalasemia, pasien hemodialise (cuci
darah), dll.
5. Mereka yang hidup di daerah endemis HVB dengan
prevalensi tinggi, misalnya di Indonesia khususnya
Lombok, Bali, kalimantan Barat, dll.
3. PENULARAN HEPATITIS VIRUS C
Hepatitis Virus C dikenal juga dengan istilah
Hepatitis Non-A Non-B.
Semula diduga cara penularan Hepatitis Virus C (HVC)
hanya disebabkan pasca transfusi saja. Tetapi pada
beberapa penelitian kemudian ternyata dapat juga
melalui jarum suntik yang tidak steril, kontak dengan
air atau water born (sumber virus dari air).
Di negara barat lebih banyak dilaporkan cara penularan
secara pasca transfusi darah dan melalui jarum suntik.
Ternyata banyak ditemukan donor darah sebagai pengidap
hepatitis kronis termasuk jenis HVC.
Transmisi secara sistemik yang sering ditemukan ialah
pada penderita setelah mendapat suntikan intravena atau
suntikan langsung ke pembuluh darah vena, yang terjadi
akibat jarumnya tidak steril terkontaminasi virus.
Pada tahun 1983 di Cicalengka Kabupaten Bandung,
pernah terjadi endemis HVC, yang cara penularannya
secara tinja mulut (faecal oral route), yang banyak
berkaitan dengan sanitasi lingkungan yang buruk.
Sudah menjadi kebiasaan sebagian penduduk di daerah
sana yang memanfaatkan air limbah untuk mandi,
cuci mulut gososk gigi, mencuci piring, mencuci beras,
sayuran lalaban, buah-buahan dan bahan makanan
lainnya, karena di daerah tersebut sulit diperoleh
air bersih.
Pada umumnya Hepatitis virus C lebih ringan dari
Hepatitis B. Tapi terkadang dapat menjadi berat.
Seperti yang dilaporkan di Denmark, ditemukan
hepatitis berat yang disebabkan HVC.
4. Hepatitis Bakteriel
Penyebab hepatitis bakteriel adalah beberapa jenis bakteri.
Di antaranya adalah bakteri Salmonella Typhi yang biasa
penyebabkan penyakit Typhus. Jadi Salmonella typhi itu
selain menyebabkan penyakit Tipus (typhoid fever) juga
bisa menyebabkan Hepatitis, sehingga hepatitis jenis ini
biasa disebut dengan Hepatitis Typhosa.
Gejala umum hepatitis bakteriel yaitu panas badan tinggi
terutama malam hari, napsu makan berkurang, kadang tak
bisa buang air besar beberapa hari. Setelah satu minggu
panas, disusul perubahan warna air kencing berwarna seperti
air teh pekat dan bola mata tampak kekuningan. Lidah bila
dijulurkan keluar akan tampak sedikit bergetar (tremor) dan
permukaan atasnya tampak kotor. Bibir kering dan kotor.
Pada fase penyembuhan, warna teh air kencing dan warna
kuning di mata akan berkurang seiring dengan mulai
turunnya panas. Hal ini berbeda dengan hepatitis virus,
dimana pada hepatitis virus A,B atau C itu warna teh pada
air kemih dan warna kuning di mata justru mulai muncul
ketika demam mulai turun.
Penularan hepatitis ini sama halnya dengan penyakit Typhus
yaitu masuk melalui mulut, yaitu melalui makanan, minuman
atau alat makan yang tercemar bakteri patogen, seperti kuman
Typhus, dll.
5. Hepatitis Medikamentosa.
adalah hepatitis yang diakibatkan oleh obat-obatan yang
dikonsumsi berlebihan . Dengan semakin banyaknya macam
obat yang beredar baik di pasaran bebas maupun di apotek,
makin sering dilaporkan perderita radang hati atau hepatitis
akibat obat-obatan yang melebihi dosis yang diperbolehkan.
Gejala keluhan hepatitis untuk masing-masing obat adalah
berbeda, dan munculnya bervariasi antara 2-5 minggu
setelah minum obat. Sebagai contoh, akibat meminum obat
Paracetamol dengan dosis yang tinggi akan timbul keluhan
hepatitis pada minggu pertama setelah pemberian obat.
Gejala dan keluhan yang mendahului sebelum timbulnya
hepatitis ini tidak jelas. Karena pada umumnya penderita
telah atau sedang minum obat untuk penyakit primernya.
Oleh karena itu gejala ataupun keluhan yang dirasakan oleh
tiap penderita bervariasi, bergantung penyakit apa yang
sedang atau telah diderita sebebelumnya.
Selain munculnya warna kuning di mata serta air kencing
yang seperti teh, beberapa penderita mengeluhkan : demam,
menggigil, gatal-gatal di seluruh badan yang tidak diketahui
penyebabnya, pegal-pegal di sendi dan otot, kadang ada rasa
sakit di perut kanan bagian atas.
Kelainan fisik lainnya tidak jauh berbeda dengan penderita
Hepatitis Virus. Pada umumnya gejala klinis tsb akan
menghilang 1-2 minggu setelah makan obat di hentikan
pemberiannya .
PENGOBATAN ?
a. Pengobatan Hepatitis Virus Akut
Setiap penderita Hepatitis Virus akut, baik A, B maupun C,
harus dirawat inap di rumah sakit. Selain untuk mendapat
perawatan dan pengobatan yang terarah, juga untuk mencegah
penularan kepada anggota keluarga dan sekitarnya.
Penanganan Hepatitis virus akut :
1. Istirahat mutlak
2. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah lemak, makan
dengan porsi kecil tapi sering.
Sudah menjadi kebiasaan di pedesaan, penderita hepatitis
diberi makanan kerang "haremis" ataupun "tutut". Bila
dievaluasi, kedua makanan tersebut mengandung banyak
protein, dan hal ini dapat diteruskan.
Adapula yang memberikan kutu dari rambut kepala dimasukan
ke dalam pisang lalu dimakan. Menurut guru besar FK Unpad
Prof. Dr.dr. Sujono Hadi, SpD,GE, pakar gastroenterologi
penyakit dalam, bahwa pemberian kutu dari kepala tidak
dibenarkan, tetapi yang benar adalah memakan buah-buahan
saja termasuk pisang tanpa ditambahkan kutu, karena
penderita hepatitis memerlukan vitamin C yang bisa
diperoleh dari buah-buahan.
3. Vitamin B komplek, vitamin C, vitamin E, vitamin K
serta asam amino cystin dan methionin.
4. Obat hepatoprotektor, yaitu obat untuk mengembalikan
fungsi metabolisme hati yang terganggu oleh hepatitis
contohnya : Essentiale, Heparegen, Legalon, Reducdyn,
Proheparum, Thiola, Aicamin, Tioctan, Tathion.
5. Obat golongan Corticosteroid (kecuali pada hepatitis B),
diberikan bila selama 3 minggu tidak ada perbaikan dan nafsu
makan tetap menurun.
6. Obat anti gatal, bila rasa gatal yang timbul cukup menggangu,
hingga tak bisa tidur, yaitu dengan obat golongan antihistamin,
yang tidak berefek samping terhadap hati, misal Dramamin
ataupun Difenhidramin hidrokloride.
7. Obat mual muntah, diberikan bagi yang muntah berat. Selain
diberikan infus cairan elektrolit, juga diberikan obat anti muntah
seperti : metoclopramid, Piribenzamin, Fenothiazin, atau
Domperidon.
Tidak jarang seseorang penderita hepatis virus akut yang sudah
dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang dari rumah sakit
dan cukup berobat jalan saja, kemudian kumat lagi penyakitnya.
Tentu saja pada kasus penyakit yang relaps seperti itu,
pengobatan atau perawatan pun harus diulang dari awal.
Keadaan ini bisa menyebabkan gangguan psikis pada penderita,
karena perawatan dan pengobatan yang diberikan dianggapnya
terlalu menyiksa dirinya atau perawatannya memakan waktu
yang terlalu lama. Apalagi bila selama perawatan di rumah
sakit sering melihat pasien lain yang meninggal dsb.
b. Pengobatan Hepatitis Bacteriel.
Pengobatan penderita heptitis bakteiel dititik beratkan pada
penyebabnya. Bila penyebabnya adalah bateri Tifus maka
pengobatannya ditujukan kepada terapi kausal yaitu membasmi
bakteri Salmonella Typhi dengan antibiotika terpilih (drug of
choice). Selain itu juga diberikan obat hepatoprotektor.
Penderita harus istirahat mutlak selama tubuh masih panas.
c. Pengobatan Hepatitis Medikamentosa
Pengelolaan penderita lebih dititik beratkan pada pengobatan
konservatif seperti pada hepatitis virus akut, yaitu : istirahat
mutlak selama masih ada ikterus (kuning) dan pengaturan
diet tinggi kalori, tinggi protein. Semua obat-obatan khususnya
obat yang ketahui sebagai penyebabnya harus dihentikan
pemakaiannya, dan tidak boleh dikonsumsi lagi oleh
penderita yang bersangkutan untuk selamanya.
PENCEGAHAN ?
Pencegahan timbulnya hepatitis virus akut adalah penting,
apalgi untuk Indonesia yang masih ditemukan sepanjang
tahun dan merupakan penyakit endemis.
Berdasarkan cara-sara penularan dari sebagian besar hepatitis
virus akut yaitu secara oral (lewat mulut), maka perlu sekali
ditingkatkan kesehatan lingkungan, dan perbaikan sanitasi.
Penggunaan air bersih perlu ditingkatkan, mengingat masih
banyak masyarakat yang menggunakan air kotor untuk
kepeluan sehari-hari.
Masalah sampah sampai saat ini masih sulit diatasinya.
Pembuangan sampah yang telah dilaksanakan tetap dapat
mencemari lingkungan dan penyebaran penyakit. Oleh
karena itu perlu dipikirkan usaha pembuangan sampah
yang lebih baik, dan perlu diusahakan pengolahan dan
pemanfaatan sampah dengan tidak menimbulkan polusi.
Suatu hal yang penting dan tidak boleh diremehkan ialah
peningkatan gizi pada masyarakat, guna meningkatkan
daya tahan tubuh. Perlu dibiasakan makan/ minum yang
masih segar dan bermutu. Makan minuman yang dihidangkan
di atas meja agar selalu ditutup, untuk mencegah kerumunan
lalat pembawa kuman penyakit.
Penggunaan alat-alat medis harus diperhatikan sterilitasnya,
pemakaiannya diusahakan sekali pakai dan dibuang, khususnya
alat yang dapat menimbulkan luka, misal jarum suntik, pisau
bedah, alat kedokteran gigi, dll.
Setiap penderita hepatitis, sebaiknya dirawat di rumah sakit dan
diisolasi, karena mereka dapat menularkan penyakitnya terutama
pada masa sebelum ikterik (kuning) dan permulaan masa ikterik.
Oleh karena itu kepada penderita perlu diawasi dan diobati
hingga sembuh. Apalagi di Indonesia, penyakit ini masih
tergolong endemis. Untuk merawat penderita di rumah sakit
masih sering mengalami kesulitan, terutama penderita yang
tinggal di pedesaan atau yang berobat ke Puskesmas.
Usaha pencegahan lainnya yaitu program imunisasai perlu
digalakan. Sampai saat ini yang sudah beredar ialah vaksin
untuk mencegah hepatitis virus A dan B saja, sedangkan
yang lainnya belum ada.
Pada keluarga dekat penderita hepatitis A atau B, perlu
diberikan suntikan imunoglobulin. Demikian juga bagi
mereka yang akan bepergian ke tempat yang endemis
Hepatitis virus A atau B, sebaiknya diberikan suntikan
imunisasai ini.
Dalam pencegahan hepatitis virus B, sesuai dengan tujuan
utama dari vaksinasi yaitu untuk mencegah timbulnya infeksi
virus B yang menetap, maka sasaran utama vaksinasi adalah
bayi dan anak-anak kecil, karena semakin muda usia pada
waktu kena infeksi virus B maka semakin besar
kemungkinan terjadinya infesi virus B yang menetap.
Penelitian menunjukkan bahwa bayi yang menderita infeksi
pada tahun pertama kehidupannya, akan mengalami
persistensi infeksi selama beberapa tahun, apalagi anak
yang mendapat penularan virus B secara vertikal dari ibu
kandungnya.
Di negara dimana penularan vertikal merupakan penularan
infeksi tertinggi, maka sasaran utama adalah bayi yang lahir
dari ibu dengan HBsAg positif di dalam darahnya. Dengan
hanya melakuakan vaksinasi terhadap bayi lahir dari ibu
dengan HBs Ag positif saja, maka jumlah pengidap anak
akan dapat ditekan, sehingga otomatis penularan horizontal
yang bersumber dari anak-anak tersebut akan berkurang.
Dalam usaha untuk mencegah infeksi virus B yang menetap
(persisten) maka vaksinasi makin efektif hasilnya bila dapat
dilakukan sedini mungkin, pada usia yang semuda mungkin.
Sebab makin muda seorang anak kena infeksi, makin besar
kemungkinan terjadinya persistensi.
Tentang usia berapa yang sebaiknya dipakai batas usia prioritas
bagi vaksinasi masal, belum ada ketentuan yang tegas. Tetapi
dari hasil-hasil penelitian yang ada dapat disimpulkan bahwa
risiko persistensi infeksi virus B paling banyak terjadi pada
usia 3 tahun ke bawah. Karena itu untuk sementara, batas
usia tersebut dipakai untuk menentukan usia prioritas dalam
vaksinasi masal pada anak di seluruh Indonesia.
Mengingat biaya untuk vaksinasi ini tergolong mahal, dan
terbatasnya dana pemerintah, maka sebagai sasaran utama
untuk melakuakan vaksinasi ialah terutama ditujukan kepada
kelompok risiko tinggi dengan urutan sbb:
1. Bayi yang baru lahir dari ibu yang mengidap HbsAg positif.
2. Lingkungan/ anggota keluarga penderita Hepatitis virus B.
3. Tenaga medis, paramedis, laboratorium klinik.
4. Mereka yang sering mendapat transfusi darah.
5. Mereka yang tinggal di daerah insidensi Heptitis virus B
yang tinggi.
b. Pencegahan Hepatitis Bacteriel.
Pada Hepatitis bakteriel, pencegahan dilakuakan sesuai dengan
penyakit primernya. Misal bila disebabkan kuman Tifus maka
pencegahan pun sama dengan pencegahan penyakit Tifus yang
ditularkan melalui mulut, yaitu memlihara higiene makanan,
minuman, alat makan minum, serta menjada sanitasi lingkungan.
c. Pencegahan Hepatitis Medikamentosa.
Kasus hepatitis medikamentosa termasuk jarang terjadi.
Tindakan pencegahan yaitu dengan menghindari pemakaian
obat yang melebihi dosis yang telah ditentukan terutama
obat-obat yang dijual bebas di pasaran.
Hindari pemakaian obat yang pernah menyebabkan hepatitis
pada orang yang bersangkutan. Setiap orang yang mengalami
hepatitis medikamentosa, obat yang menjadi penyebabnya
tidak sama, tapi bisa berlainan, jadi bersifat individual. ***
Sekian dan maaf tulisannya terlalu panjang.
wassalam,
Mas Ahmad Yasa
----- Original Message -----
From: momoclax
To: dokter_umum@yahoogroups.com
Sent: Monday, March 03, 2003 4:33 PM
Subject: [Dokter Umum] TENTANG PENYAKIT KUNING DAN HEPATITIS
hi dokter...
saat ini saya sedang sakit kuning (hasil diagnosa dokter) dan sedang
menunggu hasil pemeriksaan darah dari Laboratorium, ada beberapa hal yang
mau saya tanyakan tentang sakit kuning ini :
1. Apakah saya harus beristirahat total ?, apakah yang di maksud total
disini saya hanya boleh baring seharian di tempat tidur tanpa boleh
melakukan aktifitas apa-apa walaupun yang ringan sekalipun ? dan berapa lama
saya harus istirahat ?
2. Apa betul orang yang sakit kuning itu tidak merasakan sakit apa-apa ?,
soalnya saya tidak merasakan keluhan apapun saat ini (tapi kadang-lkadang
ulu hati saya agak sakit kalau naik turun tangga), kecuali waktu kedokter
pertama kali karena keluhan lambung yang terus-terusan kembung dan badan
terasa letih.
3. apa betul orang sakit kuning harus banyak makan gula/manis ?
3. apa saja pantangan makanan orang yang sakit kuning ?
4. apakah sudah bisa dipastikan orang yang sakit kuning itu hepatitis ?
5. apakah hasil pemeriksaan lab juga yang bisa menyatakan saya sudah sembuh
atau belum ?
6. saya dengar akar pohon belimbing merupakan obat alternatif untuk
penyembuhan penyakit ini, betulkah ?
demikian dulu pertanyaan saya dokter, maaf kalau nanya' nya kebanyakan, tapi
saya betul-betul membutuhkan informasi ini, terima kasih sebelumnya.
salam
amril nuryan
Blog ini adalah daya eksplorasi dari seorang mahasiswa bidang komunikasi yang masih akan terus belajar dari kehidupan
riwayat pendidikan
1997 to 2003 : SDN Kaliabang Tengah III Bekasi (Elementary School)
2003 to 2006 : SLTP Islam Al-Ikhlas Bekasi (Junior High School)
2006 to 2009 : SMA N 10 Bekasi (Senior High School)
2009 to now : Students of Diploma Program IPB
Kamis, 24 November 2011
Minggu, 25 September 2011
SUKU LOM BANGKA BELITUNG
Suku Lom, Kemurnian di Tengah Hutan Bangka
“HATI-hati masuk ke daerah suku Lom. Niat hati harus bersih dan tulus. Kalau hati kotor, nanti bisa kena celaka, bisa-bisa malah tidak bisa keluar lagi.” Demikian pesan banyak orang kepada siapa pun yang akan mengunjungi suku Lom.
SUKU Lom merupakan suku unik yang tinggal di Dusun Air Abik dan Dusun Pejam, Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Mereka juga sering disebut sebagai suku Mapur karena mula-mula sebagian besar tinggal di Dusun Mapur. Suku tersebut dikenal sebagai salah satu komunitas yang masih kuat memegang kemurnian tradisi di tengah perubahan zaman.
Sebenarnya kawasan adat suku Lom hanya berjarak sekitar 13 kilometer dari kota Kecamatan Belinyu. Motor dan mobil masih bisa masuk ke daerah itu saat tidak turun hujan, meski harus menelusuri jalan menuju tanah di tengah hutan Gunung Muda dan Gunung Pelawan yang rusak dan berlubang-lubang.
Kemurnian tradisi suku Lom selama ini dibumbui berbagai mitos, misteri, atau legenda yang menakutkan sehingga sebagian masyarakat enggan menyinggahi kawasan itu.
Memasuki perkampungan suku Lom di Dusun Air Abik, tak ubahnya melihat perkampungan warga biasa di daerah lain. Rumah-rumah kampung berjajar rapi di kiri-kanan jalan. Sebagian bangunan rumah sudah permanen, semipermanen, dan sebagian lagi masih berupa rumah kayu sederhana dengan atap genting. Bahkan beberapa rumah dilengkapi parabola. Ada juga beberapa mobil dan sepeda motor.
Keunikan suku itu mulai terasa ketika mereka ditanya tentang agama. Kolom agama kartu tanda penduduk (KTP) pada sebagian suku itu dibiarkan kosong, sebagian ditulis ’agama Islam’ sekadar untuk formalitas.
“Saya tidak punya agama. Tetapi, saya menghargai orang lain yang beragama. Yang penting saya hidup baik-baik, bisa makan dan minum setiap hari, serta tidak menyakiti orang lain,” ucap Sli (42), warga suku Lom yang tinggal sendirian di daerah agak pedalaman.
Sebutan lom pada suku tersebut merujuk komunitas yang “belum” memeluk suatu agama. Menurut sejumlah warga, sebutan itu mulai muncul sejak zaman kolonial Belanda yang berusaha mengidentifikasi penduduk berdasarkan agama yang dianut. Hingga sekarang, anggota suku yang masih memeluk adat disebut “Lom”, sedangkan yang telah memeluk agama formal tertentu berarti telah menjadi “bukan Lom”.
Kepala Dusun Air Abik, Tagtui, menjelaskan, dari 139 keluarga yang tercatat, sebanyak 62 orang tertulis beragama Islam, 13 Kristen, dan dua orang Buddha. Sebanyak 62 orang lagi memeluk kepercayaan adat atau masih murni “Lom”. Namun, sebagian besar warga yang secara formal telah memeluk agama juga masih memercayai adat yang dipatuhi sejak nenek moyang.
“Sejak kecil saya tidak punya agama. Saya masuk Islam ketika menikah dengan istri yang Muslim tahun 1997. Tetapi, saya masih memercayai hukum-hukum adat sampai sekarang,” papar Tagtui.
Menurut penuturan tetua adat setempat, Mang Sikat (62), adat suku Lom dibangun dari keyakinan bahwa mereka dilahirkan dari alam semesta. Gunung, hutan, sungai, bumi, langit, dan hewan merupakan bagian dari alam semesta yang menyatu dengan nenek moyang sehingga harus dihargai. Dalam setiap perwujudan alam terdapat roh atau kekuatan yang selalu menjaga dan mengawasi manusia. Kutukan akan menimpa siapa pun yang melanggar kekuatan alam.
Keyakinan akan kutukan itu diperkuat oleh mantra-mantra yang digunakan untuk setiap tindakan yang dimuati tujuan khusus. Ada mantra untuk jirat, yaitu semacam doa untuk menjaga ladang dari pencurian. Ada mantra untuk menghipnotis orang agar mengakui kejahatan yang dilakukan. Juga ada semacam gendam untuk menarik minat lawan jenis sehingga jatuh cinta atau untuk menjaga kelanggengan pernikahan.
Berbagai mantra itu terutama dikuasai para dukun adat demi menjaga keamanan dari serangan luar, melestarikan tatanan sosial, sekaligus menempa kepercayaan diri setiap anggota suku. Meski digunakan dengan hati-hati untuk keperluan khusus, keampuhan mantra suku Lom acap jadi gunjingan khalayak luas sehingga masyarakat cenderung berhati-hati terhadap kekuatan magis suku itu.
KEYAKINAN itu melahirkan adat unik yang sebagian masih ditaati suku Lom hingga kini. Mayat anggota suku yang meninggal, misalnya, tidak boleh diantar ke kubur melalui pintu depan karena dia pergi untuk selamanya dan tidak kembali lagi. Mayat dibawa lewat pintu belakang, atau bila perlu menjebol dinding samping.
Adat lain, wanita hamil dilarang duduk di tangga rumah karena tangga menjadi perlintasan roh-roh. Roh-roh itu bisa masuk dalam kandungan sehingga menghambat proses kelahiran. Bersiul di ladang juga dihindari karena akan mengusir roh kehidupan yang memasuki tanaman yang baru tumbuh, akibatnya bisa gagal panen.
Keterasingan menciptakan bahasa Lom yang unik. Kata- kata diucapkan dalam percakapan yang cepat dan penuh intonasi. Suku Lom menyebut ika untuk mereka, nampik untuk dekat, nen berarti ini, bu untuk nasi, dan maken air berarti minum. Bahasa itu berbeda dengan bahasa Melayu atau China yang terdapat di lingkungan di sekitar suku Lom.
HINGGA saat ini, suku Lom masih berusaha menjaga keyakinan adat. Para orang tua umumnya membebaskan anak untuk bersekolah, tetapi anak- anak biasanya tidak pernah menamatkan sekolah dasar. SD Negeri 24 di Dusun Air Abik yang berada di pinggir dusun hanya diikuti 48 siswa. Itu pun sebagian berasal dari lingkungan di luar suku.
Menurut Kepala Sekolah SDN 24 Dusun Air Abik, M Bundiar, jumlah anak yang masuk sekolah bisa mencapai puluhan siswa. Tetapi, anak-anak suku Lom rata-rata berhenti sekolah saat menginjak kelas II, III, atau IV.
“Kesadaran terhadap pendidikan pada suku Lom masih sangat rendah. Banyak yang tidak sekolah. Kalau sudah masuk, ada saja anak yang putus sekolah setiap bulannya. Kadang ada yang minta izin bekerja membantu orangtua di hutan dan tidak pernah masuk lagi, atau tiba-tiba hilang begitu saja,” tuturnya.
Beberapa warga suku Lom menganggap pendidikan hanya akan mengajarkan tabiat dunia luar yang dipenuhi kebohongan dan nafsu mengejar materi. Yudi (32), salah satu warga, mengaku tidak pernah sekolah sehingga tidak bisa membaca dan menulis. “Saya selalu ke ladang untuk memelihara 100 batang lada putih, buah-buahan, dan tanaman lain. Saya hanya butuh hidup dengan bahagia bersama warga di sini,” ujarnya.
Suku Lom cenderung menghindari budaya asing yang bertentangan dengan tradisi. Puluhan tahun lalu adat masih melarang anggota suku untuk menggunakan sandal, jas, jaket, atau payung karena dianggap menyamai gaya dan perilaku para penjajah. Sekarang ikatan itu mulai mengendur seiring dengan perkembangan zaman, tetapi sikap kritis terhadap dunia luar masih tetap dipelihara.
Dalam sejarahnya, belum pernah ada anggota suku yang tersangkut atau dipenjara karena melakukan tindakan kriminal. Suku Lom yang asli sering diibaratkan sebagai bayi yang baru lahir; masih murni dan polos
SUMBER : http://merito.wordpress.com/2007/09/21/suku-lom-kemurnian-di-tengah-hutan-bangka/
“HATI-hati masuk ke daerah suku Lom. Niat hati harus bersih dan tulus. Kalau hati kotor, nanti bisa kena celaka, bisa-bisa malah tidak bisa keluar lagi.” Demikian pesan banyak orang kepada siapa pun yang akan mengunjungi suku Lom.
SUKU Lom merupakan suku unik yang tinggal di Dusun Air Abik dan Dusun Pejam, Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Mereka juga sering disebut sebagai suku Mapur karena mula-mula sebagian besar tinggal di Dusun Mapur. Suku tersebut dikenal sebagai salah satu komunitas yang masih kuat memegang kemurnian tradisi di tengah perubahan zaman.
Sebenarnya kawasan adat suku Lom hanya berjarak sekitar 13 kilometer dari kota Kecamatan Belinyu. Motor dan mobil masih bisa masuk ke daerah itu saat tidak turun hujan, meski harus menelusuri jalan menuju tanah di tengah hutan Gunung Muda dan Gunung Pelawan yang rusak dan berlubang-lubang.
Kemurnian tradisi suku Lom selama ini dibumbui berbagai mitos, misteri, atau legenda yang menakutkan sehingga sebagian masyarakat enggan menyinggahi kawasan itu.
Memasuki perkampungan suku Lom di Dusun Air Abik, tak ubahnya melihat perkampungan warga biasa di daerah lain. Rumah-rumah kampung berjajar rapi di kiri-kanan jalan. Sebagian bangunan rumah sudah permanen, semipermanen, dan sebagian lagi masih berupa rumah kayu sederhana dengan atap genting. Bahkan beberapa rumah dilengkapi parabola. Ada juga beberapa mobil dan sepeda motor.
Keunikan suku itu mulai terasa ketika mereka ditanya tentang agama. Kolom agama kartu tanda penduduk (KTP) pada sebagian suku itu dibiarkan kosong, sebagian ditulis ’agama Islam’ sekadar untuk formalitas.
“Saya tidak punya agama. Tetapi, saya menghargai orang lain yang beragama. Yang penting saya hidup baik-baik, bisa makan dan minum setiap hari, serta tidak menyakiti orang lain,” ucap Sli (42), warga suku Lom yang tinggal sendirian di daerah agak pedalaman.
Sebutan lom pada suku tersebut merujuk komunitas yang “belum” memeluk suatu agama. Menurut sejumlah warga, sebutan itu mulai muncul sejak zaman kolonial Belanda yang berusaha mengidentifikasi penduduk berdasarkan agama yang dianut. Hingga sekarang, anggota suku yang masih memeluk adat disebut “Lom”, sedangkan yang telah memeluk agama formal tertentu berarti telah menjadi “bukan Lom”.
Kepala Dusun Air Abik, Tagtui, menjelaskan, dari 139 keluarga yang tercatat, sebanyak 62 orang tertulis beragama Islam, 13 Kristen, dan dua orang Buddha. Sebanyak 62 orang lagi memeluk kepercayaan adat atau masih murni “Lom”. Namun, sebagian besar warga yang secara formal telah memeluk agama juga masih memercayai adat yang dipatuhi sejak nenek moyang.
“Sejak kecil saya tidak punya agama. Saya masuk Islam ketika menikah dengan istri yang Muslim tahun 1997. Tetapi, saya masih memercayai hukum-hukum adat sampai sekarang,” papar Tagtui.
Menurut penuturan tetua adat setempat, Mang Sikat (62), adat suku Lom dibangun dari keyakinan bahwa mereka dilahirkan dari alam semesta. Gunung, hutan, sungai, bumi, langit, dan hewan merupakan bagian dari alam semesta yang menyatu dengan nenek moyang sehingga harus dihargai. Dalam setiap perwujudan alam terdapat roh atau kekuatan yang selalu menjaga dan mengawasi manusia. Kutukan akan menimpa siapa pun yang melanggar kekuatan alam.
Keyakinan akan kutukan itu diperkuat oleh mantra-mantra yang digunakan untuk setiap tindakan yang dimuati tujuan khusus. Ada mantra untuk jirat, yaitu semacam doa untuk menjaga ladang dari pencurian. Ada mantra untuk menghipnotis orang agar mengakui kejahatan yang dilakukan. Juga ada semacam gendam untuk menarik minat lawan jenis sehingga jatuh cinta atau untuk menjaga kelanggengan pernikahan.
Berbagai mantra itu terutama dikuasai para dukun adat demi menjaga keamanan dari serangan luar, melestarikan tatanan sosial, sekaligus menempa kepercayaan diri setiap anggota suku. Meski digunakan dengan hati-hati untuk keperluan khusus, keampuhan mantra suku Lom acap jadi gunjingan khalayak luas sehingga masyarakat cenderung berhati-hati terhadap kekuatan magis suku itu.
KEYAKINAN itu melahirkan adat unik yang sebagian masih ditaati suku Lom hingga kini. Mayat anggota suku yang meninggal, misalnya, tidak boleh diantar ke kubur melalui pintu depan karena dia pergi untuk selamanya dan tidak kembali lagi. Mayat dibawa lewat pintu belakang, atau bila perlu menjebol dinding samping.
Adat lain, wanita hamil dilarang duduk di tangga rumah karena tangga menjadi perlintasan roh-roh. Roh-roh itu bisa masuk dalam kandungan sehingga menghambat proses kelahiran. Bersiul di ladang juga dihindari karena akan mengusir roh kehidupan yang memasuki tanaman yang baru tumbuh, akibatnya bisa gagal panen.
Keterasingan menciptakan bahasa Lom yang unik. Kata- kata diucapkan dalam percakapan yang cepat dan penuh intonasi. Suku Lom menyebut ika untuk mereka, nampik untuk dekat, nen berarti ini, bu untuk nasi, dan maken air berarti minum. Bahasa itu berbeda dengan bahasa Melayu atau China yang terdapat di lingkungan di sekitar suku Lom.
HINGGA saat ini, suku Lom masih berusaha menjaga keyakinan adat. Para orang tua umumnya membebaskan anak untuk bersekolah, tetapi anak- anak biasanya tidak pernah menamatkan sekolah dasar. SD Negeri 24 di Dusun Air Abik yang berada di pinggir dusun hanya diikuti 48 siswa. Itu pun sebagian berasal dari lingkungan di luar suku.
Menurut Kepala Sekolah SDN 24 Dusun Air Abik, M Bundiar, jumlah anak yang masuk sekolah bisa mencapai puluhan siswa. Tetapi, anak-anak suku Lom rata-rata berhenti sekolah saat menginjak kelas II, III, atau IV.
“Kesadaran terhadap pendidikan pada suku Lom masih sangat rendah. Banyak yang tidak sekolah. Kalau sudah masuk, ada saja anak yang putus sekolah setiap bulannya. Kadang ada yang minta izin bekerja membantu orangtua di hutan dan tidak pernah masuk lagi, atau tiba-tiba hilang begitu saja,” tuturnya.
Beberapa warga suku Lom menganggap pendidikan hanya akan mengajarkan tabiat dunia luar yang dipenuhi kebohongan dan nafsu mengejar materi. Yudi (32), salah satu warga, mengaku tidak pernah sekolah sehingga tidak bisa membaca dan menulis. “Saya selalu ke ladang untuk memelihara 100 batang lada putih, buah-buahan, dan tanaman lain. Saya hanya butuh hidup dengan bahagia bersama warga di sini,” ujarnya.
Suku Lom cenderung menghindari budaya asing yang bertentangan dengan tradisi. Puluhan tahun lalu adat masih melarang anggota suku untuk menggunakan sandal, jas, jaket, atau payung karena dianggap menyamai gaya dan perilaku para penjajah. Sekarang ikatan itu mulai mengendur seiring dengan perkembangan zaman, tetapi sikap kritis terhadap dunia luar masih tetap dipelihara.
Dalam sejarahnya, belum pernah ada anggota suku yang tersangkut atau dipenjara karena melakukan tindakan kriminal. Suku Lom yang asli sering diibaratkan sebagai bayi yang baru lahir; masih murni dan polos
SUMBER : http://merito.wordpress.com/2007/09/21/suku-lom-kemurnian-di-tengah-hutan-bangka/
Selasa, 20 September 2011
Fotografi
FOTO LANSKAP
1. Fotografi lanskap adalah sebuah cabang fotografi mendiri, namun bisa menjadi bagian dari Travelling photography
2. Fotografi lanskap adalah peluang termudah bagi pemula mendapatkan uang karena cabang ini paling mudah di dapatkan dan di lakukan
3. Fotografi Lanskap bahkan bisa dilakukan sambil berekreasi. Saat piknik, mending memikirkan foto lanskap daripada memotret diri sendiri
4. Foto Lanskap biasanya dipakai untuk kalender. Lebih dari 50% kalender bergambar foto lanskap. Untuk poster dan selingan di buku agenda
5. Menjual foto lanskap bisa dimulai dengan menaruhnya di website-website fotografi kalau bagus pasti ada yang menawar.
6. Kalau beberapa bulan belum ada yang menawar sama dengan kurang MENARIK
7. Foto lanskap tidak mengenal lensa wajib. Semua lensa (Tidak semata lensa lebar) bisa dipakai dan diperlukan dalam cabang ini.
8. Modal utama mendapatkan foto lanskap yang baik adalah berada di "tempat" yang tepat pada "waktu" yang dengan "pencahayaan" yang tepat serta "alat" yang tepat waktu
9. Foto Lanskap bisa di dapat dengan sangat tidak sengaja
10. Foto Lanskap bisa di dapat sekedar dari kamar hotel saat bangun tidur
11. Foto Lanskap bisa di dapat saat berhenti buang air dari dalam mobil
12. Foto Lanskap sambil hujan ? Why not?
13. Foto Lanskap kapanpun dengan peralatan yang memadai
14. Foto lanskap secara umum - Urban Lanskap (Perkantoran) - Nature Lanskap
15. Urban Lanskap di dapat sambil bepergian naik pesawat ---> check in lebih awal
16. Nature Lanskap terbaik dibuat pagi hari. Jangan begadang !
17. Urban Lanskap sulit di ambil pagi karena cahaya matahari kadang tertutup gedung-gedung tinggi
18. Kadang Urban Lanskap di ambil malam hari sekalian dengan Slow Speed
19. Selain hujan, mendung pun masih OK untuk Lanskap
20. Foto lanskap main-main
21. Lanskap Kota, kadang butuh tempat yang tinggi
22. Kapan foto lanskap dihitam putihkan ? Bila memang warna tidak perlu, serta butuh efek warna tertentu
23. Lanskap BW (Hitam Putih)
24. Manakala pemandangan terlalu "SEPI" butuh akses (Misal PERAHU)
25. kalau perlu, tukang perahu di bayar untuk berada di satu posisi
26. Pakar teknik Infrared ? WHY NOT ?
27. Infrared, karena alamnya sesuai untuk IR
28.
29. Lanscap dengan IR berwarna yang warnanya dibuat "LARI"
30. Lanscap "Sangat Sepi"
31. Lanscap dengan komposisi ekstrem
32. Foto lanscap sebaiknya Depth of Field selebar mungkin, maka pakai diafragma sesempit mungkin
33. Ada baiknya menguasai "Hyperfocal Focus" untuk mendapatkan hasil terbaik.
34. Teori hyperfocal focus memang baik, tapi kadang bikin rumit. Intinya, pakai diafragma sempit, selesailah sudah secara umum
35.
36. Untuk memperkuat hasil foto, filter CPL bisa sangat mendongkrak hasil : menggelapkan langit atau mengurangi efek pantulan
37. Filter CPL adalah salah satu dari beberapa filter yang tidak bisa di gantikan software
38. Filter lain yang sulit digantikan software adalah UV, ND dan juga Gradual ND
39. Filter yang harga sangat mempengaruhi mutu adalah CPL, ND, dan GDN cuma agak mehoong cieen
40. Foto Lanscap, komposisi tidak pernah diatur sama sekali tapi secara umum, cakrawala harus datar
41. Untuk bisa dapat foto lanscap yang baik harus banyak mengapresiasi foto lanscap yang pernah ada
42.43.44
45. WB untuk foto pagi hari sebaiknya daylight atau sekalian cloudy untuk hasil ekstrem kuning
46. Senjata Lanscaper : TRIPOD, FILTER CPL, FILTER ND, jas hujan dan tisue untuk lap lensa
47. Foto Lanscap memotret dengan membelakangi sumber cahaya tapi perkecualian
48. Lanscap dengan memasang Filter Kuning
1. Fotografi lanskap adalah sebuah cabang fotografi mendiri, namun bisa menjadi bagian dari Travelling photography
2. Fotografi lanskap adalah peluang termudah bagi pemula mendapatkan uang karena cabang ini paling mudah di dapatkan dan di lakukan
3. Fotografi Lanskap bahkan bisa dilakukan sambil berekreasi. Saat piknik, mending memikirkan foto lanskap daripada memotret diri sendiri
4. Foto Lanskap biasanya dipakai untuk kalender. Lebih dari 50% kalender bergambar foto lanskap. Untuk poster dan selingan di buku agenda
5. Menjual foto lanskap bisa dimulai dengan menaruhnya di website-website fotografi kalau bagus pasti ada yang menawar.
6. Kalau beberapa bulan belum ada yang menawar sama dengan kurang MENARIK
7. Foto lanskap tidak mengenal lensa wajib. Semua lensa (Tidak semata lensa lebar) bisa dipakai dan diperlukan dalam cabang ini.
8. Modal utama mendapatkan foto lanskap yang baik adalah berada di "tempat" yang tepat pada "waktu" yang dengan "pencahayaan" yang tepat serta "alat" yang tepat waktu
9. Foto Lanskap bisa di dapat dengan sangat tidak sengaja
10. Foto Lanskap bisa di dapat sekedar dari kamar hotel saat bangun tidur
11. Foto Lanskap bisa di dapat saat berhenti buang air dari dalam mobil
12. Foto Lanskap sambil hujan ? Why not?
13. Foto Lanskap kapanpun dengan peralatan yang memadai
14. Foto lanskap secara umum - Urban Lanskap (Perkantoran) - Nature Lanskap
15. Urban Lanskap di dapat sambil bepergian naik pesawat ---> check in lebih awal
16. Nature Lanskap terbaik dibuat pagi hari. Jangan begadang !
17. Urban Lanskap sulit di ambil pagi karena cahaya matahari kadang tertutup gedung-gedung tinggi
18. Kadang Urban Lanskap di ambil malam hari sekalian dengan Slow Speed
19. Selain hujan, mendung pun masih OK untuk Lanskap
20. Foto lanskap main-main
21. Lanskap Kota, kadang butuh tempat yang tinggi
22. Kapan foto lanskap dihitam putihkan ? Bila memang warna tidak perlu, serta butuh efek warna tertentu
23. Lanskap BW (Hitam Putih)
24. Manakala pemandangan terlalu "SEPI" butuh akses (Misal PERAHU)
25. kalau perlu, tukang perahu di bayar untuk berada di satu posisi
26. Pakar teknik Infrared ? WHY NOT ?
27. Infrared, karena alamnya sesuai untuk IR
28.
29. Lanscap dengan IR berwarna yang warnanya dibuat "LARI"
30. Lanscap "Sangat Sepi"
31. Lanscap dengan komposisi ekstrem
32. Foto lanscap sebaiknya Depth of Field selebar mungkin, maka pakai diafragma sesempit mungkin
33. Ada baiknya menguasai "Hyperfocal Focus" untuk mendapatkan hasil terbaik.
34. Teori hyperfocal focus memang baik, tapi kadang bikin rumit. Intinya, pakai diafragma sempit, selesailah sudah secara umum
35.
36. Untuk memperkuat hasil foto, filter CPL bisa sangat mendongkrak hasil : menggelapkan langit atau mengurangi efek pantulan
37. Filter CPL adalah salah satu dari beberapa filter yang tidak bisa di gantikan software
38. Filter lain yang sulit digantikan software adalah UV, ND dan juga Gradual ND
39. Filter yang harga sangat mempengaruhi mutu adalah CPL, ND, dan GDN cuma agak mehoong cieen
40. Foto Lanscap, komposisi tidak pernah diatur sama sekali tapi secara umum, cakrawala harus datar
41. Untuk bisa dapat foto lanscap yang baik harus banyak mengapresiasi foto lanscap yang pernah ada
42.43.44
45. WB untuk foto pagi hari sebaiknya daylight atau sekalian cloudy untuk hasil ekstrem kuning
46. Senjata Lanscaper : TRIPOD, FILTER CPL, FILTER ND, jas hujan dan tisue untuk lap lensa
47. Foto Lanscap memotret dengan membelakangi sumber cahaya tapi perkecualian
48. Lanscap dengan memasang Filter Kuning
Kamis, 18 Agustus 2011
Riset part II
Riset 5 Kampung Pendidikan Citeureup Bogor
Riset 6 Bpk Suwarno pemerhati lingkungan dari buletin Tzu Chi
Riset 7 Kampung Daur Ulang "PAHALA"
Secara umum riset berarti "mencari informasi tentang sesuatu" (looking for information about something), seperti yang saya lakukan sebelum melakukan liputan seorang reporter memerlukan gambaran awal mengenai situasi dan kondisi lingkungan tempat kegiatan. Gambaran awal ini merupakan langkah awal informasi yang di dapat seorang reporter untuk di laporkan kepada produser Jurnal DAAI. Riset yang dilakukan menggunakan metode non-ilmiah karena tidak menekankan pada ketelitian dan sistematis. Program Jurnal DAAI melalukan riset bertujuan menimbang kelayakan berita jika berita tersebut di luar dari misi sedangkan bagi reporter sendiri bertujuan untuk pendekatan kepada narasumber agar mereka tidak kaku dan untuk wartawan sendiri riset berfungsi agar reporter tidak kaku dan canggung ketika proses lipuran. Riset bisa juga di artikan sebagai sebuah usaha untuk menemukan sesuatu (an attempt to discover something)
Riset 6 Bpk Suwarno pemerhati lingkungan dari buletin Tzu Chi
Riset 7 Kampung Daur Ulang "PAHALA"
Secara umum riset berarti "mencari informasi tentang sesuatu" (looking for information about something), seperti yang saya lakukan sebelum melakukan liputan seorang reporter memerlukan gambaran awal mengenai situasi dan kondisi lingkungan tempat kegiatan. Gambaran awal ini merupakan langkah awal informasi yang di dapat seorang reporter untuk di laporkan kepada produser Jurnal DAAI. Riset yang dilakukan menggunakan metode non-ilmiah karena tidak menekankan pada ketelitian dan sistematis. Program Jurnal DAAI melalukan riset bertujuan menimbang kelayakan berita jika berita tersebut di luar dari misi sedangkan bagi reporter sendiri bertujuan untuk pendekatan kepada narasumber agar mereka tidak kaku dan untuk wartawan sendiri riset berfungsi agar reporter tidak kaku dan canggung ketika proses lipuran. Riset bisa juga di artikan sebagai sebuah usaha untuk menemukan sesuatu (an attempt to discover something)
Kamis, 04 Agustus 2011
Sejarah Kota Ciamis
ASTANA GEDE KAWALI
Kita semua, tentu sudah mengetahui peninggalan purbakala yang terletak di Astana Gede Kawali. Ada pendapat mengatakan bahwa Astana Gede Kawali pada jaman dahulu merupakan tempat pemujaan atau disebut juga Bale Kabuyutan. Hal ini mungkin dapat kita lihat dari adanya tinggalan budaya seperti menhir, lingga dan yoni. Di samping itu terdapat pula beberapa pepatah dan petunjuk.
Sebagai pusat pemerintahan, raja-raja yang pernah bertahta di tempat ini adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa, yang dikenal dengan sebutan sang lumah ing kiding, kemudian Prabu Ragamulya atau aki kolot, setelah itu Prabu Linggabuwana yang gugur pada peristiwa bubat, Rahyang Niskala Wastukancana yang meninggalkan beberapa prasasti di Astana Gede, dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Wastukancana.
Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada di sebelah utara atau 27 km dari ibukota Kabupaten Ciamis, yakni di Dusun Indrayasa Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis. Apabila ditempuh dengan kendaraan motor ataupun mobil lamanya sekitar (45) empat puluh lima menit. Keadaan jalan cukup baik karena sudah mengalami pengaspalan, sehingga tidak sulit dijangkau.
Luas area lokasi peninggalan purbakala ini adalah 5 Ha, disekelilingnya rimbun dengan pepohonan. Keadaan alamnya cukup nyaman dan sejuk sehingga memberi kesan menyenangkan kepada setiap pengunjung.
Letaknya berada di kaki Gunung Sawal disebelah selatannya sungai Cibulan, yang mengalir dari barat ke timur, di sebelah timur berupa parit kecil dari sungai Cimuntur yang mengalir dari Utara ke Selatan, sebelah Utara Sungai Cikadondong dan sebelah Barat Sungai Cigarunggang. Keadaan lingkungan situs ini merupakan hutan lindung yang ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan tanaman keras diantaranya termasuk familia Meliceae, Lacocarpaceae, Euphorbiaceae, Sapidanceae dan lain-lain, juga tanaman Palawija, Rotan, Salak, Padi, Cengkih dan lain-lain.
Menurut temuan arkeologi, bila dilihat dari tinggalan budaya yang ada di kawasan Astana Gede Kawali merupakan kawasan campuran, yaitu berasal dari periode prasejarah, klasik dan periode Islam
Bentuk transformasi budaya yang terjadi diperkirakan mulai dari tradisi megalitik yang ditandai dengan adanya temuan punden berundak, lumpang batu, menhir, kemudian berlanjut secara berangsur-angsur ke tradisi budaya sejarah (klasik) yang ditandai dengan adanya prasasti, kemudian berlanjut ke tradisi Islam yang ditandai dengan adanya makam kuna. Dengan demikian kawasan Astana Gede merupakan kawasan yang menarik untuk dikunjungi.
Benda-benda Cagar Budaya yang ada di Astana Gede Kawali itu terdiri atas, punden berundak, menhir, prasasti, makam kuna, dan lain-lain. Juga mata air Cikawali yang tidak pernah kering sepanjang tahun.
Benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala sebagai warisan budaya ini memiliki peran yang penting dan berfungsi sebagai, bukti-bukti sejarah dan budaya, sumber-sumber sejarah dan budaya, obyek ilmu pengetahuan sejarah dan budaya, cermin sejarah dan budaya, media untuk pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya, media pendidikan budaya bangsa sepanjang masa, media untuk memupukan kepribadian bangsa di bidang kebudayaan dan ketahanan nasional, dan sebagai obyek wisata budaya.
CIUNG WANARA
Bojong Galuh Karangkamulyan adalah sebuah nama yang cukup akrab untuk masyarakat yang ada di Kabupaten Ciamis. Dikatakan akrab karena nama ini merupakan sebuah kawasan yang berupa hutan lindung yang mengandung berbagai kisah yang berhubungan dengan kerajaan pada jaman dahulu. Masyarakat menganggap bahwa kawasan ini merupakan peninggalan pada masa Kerajaan Galuh yang diperintah oleh Permanadikusumah dan putranya yang bernama Ciung Wanara. Dengan demikian muncullah sebuah cerita rakyat yang telah turun temurun sejak dahulu yaitu cerita tentang ihwal Kerajaan Galuh yang diperintah oleh Permanadikusumah serta penerusny yaitu Ciung Wanara, yang dibumbui dengan hal yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki orang biasa. Hal ini dimaksudkan hanyalah untuk mengagungkan seorang raja yang mungkin dalam visi mereka raja adalah segala-galanya, istimewa dan terlepas dari segala kekurangan yang menjadikannya berpredikat sebagai raja.
Bila kita telusuri lebih jauh kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah seperti batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda, berada dalam sebuah tempat berupa struktrur bangunan terbuat dari tumpukan batu yang bentunya hampir sama. Struktur bangunan itu memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.
Batu-batu yang ada dalam struktur bangunan itu memiliki nama dan kisah, begitu pula beberapa lokasi lain yang terdapat didalamnya yang berada diluar struktur batu. Nama batu merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah/cerita rakyat tentang Kerajaan Galuh seperti; pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, dikatakan lambang peribadatan mungkin karena bentuknya menyerupai sebuah stupa, panyandaan atau tempat melahirkan, berupa batu yang berdiri tegak lurus serta memanjang sehingga menyerupai tempat duduk yang ada sandarannya, pengaduan ayam yang merupakan sebuah lokasi yang berupa dataran yang dikelilingi struktur bangunan, Sanghyang bedil, juga merupakan sebuah tempat yang dikelilingi oleh struktur bangunan, kemudian sebuah mata air yang di sebut Cikahuripan yang letaknya di sebelah dalam kawasan hutan lindung yang dikelilingi oleh rimbunnya pepohonan.
Masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa tempat ini mengandung keramat, mereka masih berpegang pada mitos yang cukup kuat tentang Ciung Wanara dan Permanadikusumah, sehingga banyak orang datang ke tempat ini dengan tujuan untuk mencari berkah.
Adanya cerita rakyat yang dihubungkan dengan benda-benda yang ada di kawasan Bojong Galuh Karangkamulyan ini telah membudaya di Kabupaten Ciamis, hampir semua orang mengetahui kisah Ciung Wanara serta batu-batu yang telah diberi nama itu merupakan tempat kegiatan pada masa Kerajaan Galuh, sehingga apabila kita bertanya kepada masyarakat mengenai tempat ini tanpa ragu-ragu mereka akan menjawab bahwa tempat ini merupakan peninggalan pada masa Kerajaan Galuh.
Keberadaan tempat ini dapat kita lihat dari tiga sudut pandang bila dihubungkan dengan kedudukannya dengan waktu sekarang ini. Pertama dari sudut pandang sejarah, kedua cerita rakyat, ketiga sebagai obyek wisata.
Bila kita tinjau dari sudut pandang sejarah, memang kita tidak bisa menolak bahwa Kerajaan Galuh itu pernah ada serta nama yang disebutkan seperti tokoh Permanadikusumah dan Ciung Wanara itu adalah seorang raja yang memerintah pada masa Kerajaan Galuh sekitar abad ke-8 Masehi. Begitu pula mengenai tempat, hal ini mungkin saja terjadi bahwa tempat ini merupakan bekas Kerajaan Galuh, seperti Lakbok juga daerah Cibeureum yang ada di Tasikmalaya, hal ini mungkin saja terjadi karena kerajaan pada jaman dahulu sering berpindah-pindah.
Sudut pandang kedua adalah cerita rakyat yang telah lama turun temurun. Hal ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat di Kabupaten Ciamis sebagai kekayaan budaya yang keberadaannya tidak terlepas dari berbagai mitos yang dihubungkan dengan yang sekarang ini disebut sebagai situs yaitu tempat yang diduga mengandung sejarah.
Sudut pandang ketiga adalah kedudukan situs Bojong Galuh Karangkamulyan ini adalah sebagai obyek wisata, sesuai dengan sebutan sebagai obyek wisata, tempat ini banyak dikunjungi sebagai tempat rekreasi yang menyenangkan, karena tempatnya sejuk dan nyaman serta letaknya sangat strategis, yaitu berada di jalur jalan raya yang menghubungkan Ciamis dengan Banjar. Disamping itu, tempat ini dilewati oleh kendaraan menuju tempat yang lebih jauh lagi seperti Jawa Tengah, karena merupakan jalan protokol. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada penjelasan selanjutnya yang akan diuraikan di muka.
Kerajaan Galuh dalam Sejarah
Kerajaan Galuh pertama kali didirikan oleh Wrettikandayun pada abad ke-6 Masehi, akan tetapi belum ada keterangan yang pasti mengenai letak Kerajaan Galuh tersebut, namun ada beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa Kerajaan Galuh berpusat di Cibeureum, yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya tepatnya di Desa Cibeureum Kecamatan Manonjaya. Sementara itu pendapat lain mengemukakan pula bahwa pusat Kerajaan Galuh terletak di Desa Citapen Kecamatan Rajadesa Kabupeten Ciamis. Ditempat ini ditemukan sebuah peninggalan purbakala berupa dinding batu yang cukup tinggi berada di sebuah tebing di pinggir kali sungai Cijolang. Pada dinding batu tersebut terdapat beberapa catatan berupa garis-garis berupa sebuah sandi, namun sampai saat ini belum diketahui apa maksud coretan tersebut. Ada lagi pendapat yang mengemukakan bahwa Kerajaan Galuh berpusat di Purbaratu, kemudian di Lakbok dan Karangkamulyan, yang kesemuanya memiliki peninggalan purbakala.
Wrettikandayun gemar menimba ilmu pengetahuan, ia diwarisi kitab yang disebut Sanghiang Watangageung oleh ayahnya. Kemudian ia bersama ayahnya yakni Kandiawan dan dua orang adiknya yang bernama Sandang Gerba dan Katungmaralah, membuat sebuah kitab yang diberi nama Sanghiang Sasanakerta.
Pada masa Wrettikandayun, Kerajaan Galuh berbatasan dengan Kerajaan Sunda di Citarum. Setelah 90 tahun memerintah, Wrettikandayun mengundurkan diri dari jabatannya kemudian ia menjadi Raja Resi di Mendala Menir, oleh sebab itu ia mendapat julukan Rahiangtarimenir.
Setelah Wrettikandayun wafat, tahta kerajaan tidak diteruskan oleh putra sulungnya karena putra sulung tersebut memiliki cacat tubuh yaitu giginya tanggal, oleh karena itu maka dinamai Sempak Waja. Disamping memiliki cacat tubuh, Sempakjaya memiliki wajah yang kurang bagus, kemudian ia di jodohkan dengan Pwah Rababu yang berasal dari daerah Kendan. Dalam perkawinannya pun Sempak Waja memiliki cacat, atau tidak memiliki jalan mulus, sebab terjadi peristiwa yang memalukan yakni, adanya hubungan gelap antara istrinya dengan adiknya sendiri yang bernama Mandiminyak. Hubungan gelap itu bermula dari adanya acara perjamuan makan di Galuh yang di sebut utsawakarma.
Putra kedua Wrettikandayun yang bernama Jantaka, juga tidak memenuhi syarat untuk menjadi raja, sebab ia pun memiliki cacat tubuh yaitu kemir. Tidak diperoleh keterangan dengan siapa Jantaka menikah, tetapi ia mempunyai keturunan bernama Bimaraksa atau terkenal dengan sebutan Balangantrang.
Putra ketiga dari Wrettikandayun merupakan orang yang dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan raja, sebab tidak memiliki cacat tubuh. Ia adalah Mandiminyak.
Kerajaan Galuh Pada Masa Mandiminyak
Mandiminyak atau disebut juga Amara, memerintah di Galuh dari tahun 702 – 709 masehi. Ia memerintah dalam usia 78 tahun. Mandiminyak dijodohkan dengan putri Maharani Sima seorang penguasa dari Kalingga. Dari perkawinannya dengan Dewi Parwati, Mandiminyak dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama putri Sannaha. Dengan demikian Mandiminyak telah mempunyai dua orang anak. Anak pertama bernama Bratsenawa sebagai hasil hubungan gelap dengan Pwah Rababu yang telah diperistri oleh kakaknya yaitu Sempakjaya.. Kedua kakak beradik yang berbeda ibu tersebut, kemudian dijodohkan karena pada waktu itu adat mereka membolehkannya. Perkawinan itu terkenal dengan sebutan Perkawinan Manu, yaitu menikah dengan saudara sendiri. Mandiminyak bersama istrinya menjadi penguasa Kalingga Utara sejak tahun 674-702 Masehi.
Kerajaan Galuh Pada Masa Bratasenawa
Ranghiangtang Bratasenawa atau Sang Sena memerintah di Kerajaan Galuh dari tahun 709-716 Masehi. Dari perkawinannya dengan Dewi Sannaha ia dikaruniai seorang anak yang diberi nama Sanjaya. Sang Sena terlahir dari hubungan terlarang antara Mandiminyak dan Pwah Rababu, oleh sebab itui kedudukannya di Galuh kurang disukai oleh kalangan pembesar Galuh. Sang Sena pun menyadari kalau kedudukannya kurang disukai karena latar belakang dirinya dari keadaan yang hitam, tetapi ia tetap duduk dalam kekuasaannya.
Pada tahun 716 Masehi terjadilah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Purbasora. Dalam perebutan kekuasaan itu, Purbasora dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang berpihak kepadanya seperti kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh Wirata. Dalam perebutan kekuasaan itu pasukan Galuh terpecah menjadi dua bagian, pertama sebagai pendukung Bratasena dan kedua sebagai pendukung Purbasora. Akan tetapi pasukan yang memihak kepada Bratasena atau Sang Sena tidaklah sekuat pasukan yang memihak kepada Purbasora sehingga pasukan Sang Sena dapat segera dikalahkan.
Kerajaan Galuh Pada Masa Purbasora
Rahyang Purbasora menjadi penguasa di Galuh dari tahun 716-723 Masehi, ia naik tahta dalam usia 74 tahun. Dari perkawinannnya dengan Citra Kirana Putri Padma Hadiwangsa Raja Indraprahasta ke-13, ia dikaruniai anak bernama Wijaya Kusuma yang menjadi Patih di Saung Galah.
Rahiang tidak lama memerintah di Galuh, setelah 7 tahun memegang pemerintahan maka terjadilah perebutan kekuasan, ini dilakukan oleh Sanjaya. Sa njaya adalah anak dari Bratasenawa atau Sang Sena. Penyerbuan dilakukan pada malam hari dengan markasnya di Gunung Sawal. Pada penyerbuan itu ia berhasil membunuh Purbasora serta membunuh seluruh penghuni Keraton Galuh.
Kerajaan Galuh Pada Masa Sanjaya
Sanjaya atau Rakaian Jamri atau disebut juga Harisdharama Bhimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajisatru Yudhapurna Jaya anak dari perkawinan antara Bratasenawa dan Dewi Sannaha. Ia menikah dengan Teja Kancana Hayupurnawangi cucu Prabu Tarusbawa pendiri Kerajaan sunda. Perkawinan kedua dengan putri sudiwara putra dari Narayana atau Prabu Iswara penguasa Kalingga Selatan.
Sanjaya berkuasa di Galuh dari tahun 723-724 Masehi. Setelah merebut Galuh, Sanjaya segera menumpas para pendukung Purbasora ketika merebut kekuasaan dari tangan ayahnya. Setelah melakukan penyerbuan ke Indraprahasta kemudian Sanjaya menyerang Kerajaan Kuningan. Tetapi penyerangan ini mengalami kegagalan sampai akhirnya Sanjaya kembali ke Galuh bersama pasukannya.
Setelah melakukan penyerbuan itu Sanjaya menemui Sempak Waja di Galunggung. Sanjaya meminta agar Galuh dipegang oleh Demunawan adik Purbasora, tetapi Demunawan menolak permintaan itu, hal ini terjadi mungkin karena Demunawan tidak rela kalau Kerajaan Galuh menjadi bawahan Kerajaan Sunda. Dalam menanggapi pihak Galunggung, Sanjaya tidak berani bersikap keras, karena ia telah mendapat tekanan keras dari ayahnya sendiri, Sang Sena, yang telah berkali-kali mengingatkan agar Sanjaya tetap bersikap hormat kepada Sempak Waja dan Demunawan.
Ketika Sanjaya telah berhasil menundukkan raja-raja di pulau Jawa Swarna bumi dan Cina, ia kembali ke Galuh untuk mengadakan perundingan. Perundingan itu dihadiri oleh Sanjaya, Demunawan, Sang Iswara dan para pembesar kerajaan serta para pembesar kerajaan serta Duta Prabu Sena dan para Duta dari Swarna Bumi. Pada saat itu Sempak Waja telah meninggal dunia. Hasil perundingan itu meneapkan bahwa:
Keterangan I :
1. Negara Sunda wilayah sebelah Barat Citarum diserahkan kepada keturunan Prabu Tarusbawa.
2. Galuh Pakuan dan Saung Galah diserahkan kepada Sri Demunawan.
3. Medang di Bumi Mataram diserahkan kepada Sanjaya.
4. Jawa timur diserahkan kepada Prabu Iswara.
Keterangan II :
1. Sanjaya akan memerintah di pulau Jawa meneruskan pemerintahan kedua orang tuanya.
2. Galuh dan Sunda diserahkan kepada Tamperan.
3. Daerah kekuasaan Dangiang Guru Sempak Waja diserahkan kepada Saung Galah dibawah kekuasaan Resi Demunawan.
4. Daerah sebelah Timur Paralor dan cilotiran menjadi daerah kekuasaan Iswara Narayana adik Parwati Putra Maharani Sima.
Dengan demikian maka pulau jawa terbagi atas empat bagian pemerintahan. Sanjaya yang disebut juga Rakaian Jamri sekaligus menjadi penguasa kerajaan Galuh, Sunda, dan Kalingga, menyadari bahwa kedudukannya sebagai penguasa di Galuh tidak disukai oleh orang-orang Galuh, oleh sebab itu dicari figur yang cocok untuk dijadikan penguasa di Galuh. Akhirnya Sanjaya menemukan figur yang dianggapnya cocok untuk memerintah di Galuh yaitu Adimulya Permanadikusuma Cucu dari Purbasora.
Kerajaan Galuh Pada Masa Adimulya Permanadikusuma
Nama Adimulya Permanadikusuma atau disebut juga Bagawat Sajala-jala atau Ajar sukaresi, telah dikenal cukup akrab di telinga masyarakat yang ada di Kabupaten Ciamis terutama yang tinggal di daerah Bojong Galuh Karangkamulyan sekarang ini, karena tempat ini diduga sebagai bekas peninggalan Kerajaan Galuh pada masa pemerintahan Adimulya Permanadikusuma. Menurut sejarahnya, Adimulya Permanadikusumah adalah putra Wijaya Kusuma yang menjadi patih di Saung Galah (Kuningan), ketika Demunawan memegang pemerintahan.
Ratu Adimulya Permanadilusuma lahir pada tahun 683 Masehi. Ia seumur dengan Sanjaya putra Bratasena. Sanjaya mengangkat Adimulya Permanadikusuma menjadi raja di Galuh dengan maksud untuk menghilangkan ketidaksimpatian para tokoh Galuh terhadap dirinya terutama keturunan Batara Sempak Waja dan Resi guru Jantaka..
Untuk memperkuat kedudukannya, Sanjaya membuat suatu strategi dengan cara menjodohkan Adimulya Permanadikusuma dengan putri Patih Anggada dari Kerajaan Sunda bernama Pangrenyep, masih saudara sepupu istri Sanjaya. Saat anak pertamanya yang bernama Ciung Wanara baru berumur lima tahun, ia melakukan tapa, karena merasa bingung dalam memerintah sebab Kerajaan Galuh harus tunduk kepada Kerajaan Sunda.
Pada waktu Adimulya Permanadikusuma bertapa, pemerintahan di Galuh sementara dipegang oleh Tamperan yang jabatannya sebagai patih galuh. Akan tetapi Tamperan berbuat tidak baik, ia menghianati Prabu Adimulya Permanadikusuma, dengan cara berbuat skandal/tidak senonoh dengan Pangrenyep, yang menjadi istri kedua Prabu Adimulya Permanadikusuma. Hubungan Tamperan dan Pangrenyep semakin hari semakin akrab, sampai akhirnya dari hubungan gelap itulah lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Rahiang Banga atau disebut juga Kamarasa. Tamperan membuat siasat licik dengan cara menyuruh orang untuk membunuh Prabu Adimulya Permanadikusumah yang sedang bertapa di Gunung Padang. Maka terbunuhlah Prabu Adimulya Permanadikusuma oleh orang suruhan Tamperan.
Kerajaan Galuh Pada Masa Tamperan
Tamperan menikah dengan Pangrenyep ketika sedang mengandung sembilan bulan. Namun tidak lama kemudian, ia menikahi Naganingrum yang statusnya sebagai istri kedua.
Sementara itu Ciung Wanara, putra dari Prabu Adimulya Permanadikusuma dan Dewi Naganingrum setelah ibunya menikah kembali, ia melarikan diri ke Geger Sunten untuk menemui Balangantrang. Ia menetap di Geger Sunten sampai usianya dewasa. Ciung Wanara mengetahui rahasia negara, karena diberitahu oleh Balangantrang. Ia dipersiapkan oleh Balangantrang untuk merebut kembali Kerajaan Galuh yang menjadi haknya dan menuntut balas pati atas kematian ayahnya.
Ketika Ciung Wanara berusia 22 tahun, tepatnya tahun 739 Masehi, Ciung Wanara bersama pasukannya dari Geger Sunten, ditambah dengan pasukan yang masih setia kepada Prabu Adimulya Permanadikusuma, menyerang kerajaan Galuh. Penyerangan itu dilakukan ketika sedang berlangsung pesta penyabungan ayam. Ketika itu Ciung Wanara ikut serta menyabungkan ayamnya.
Dalam penyerangan itu Tamperan dan Pangrenyep berhasil ditangkap, akan tetapi Banga yang pada waktu itu dibiarkan, berhasil meloloskan kedua orang tuanya sehingga kedua tawanan itu melarikan diri. Pelarian itu menuju ke arah Barat. Ciung Wanara sangat gusar ketika mendengar tawanannya melarikan diri. Kemudian ia menyerang Rahyang Banga, maka terjadilah perkelahian di antara keduanya. Sementara itu pasukan pengejar kedua tawanan takut kemalaman , dan takut kehilangan buruannya, kemudian mereka menghujani hutan dengan Panah. Panah-panah mereka akhirnya menewaskan Tamperan dan Pangrenyep. Berita binasanya Temperan dan Pangrenyep, akhirnya sampai kepada Sanjaya, maka sanjaya mambawa pasukan yang sangat besar, akan tetapi hal ini telah diperhitungkan oleh Balangantrang. Melihat sengitnya pertempuran itu, akhirnya tokoh tua Demunawan turun tangan dan berhasil melerai pertempuran itu. Kemudian kedua belah pihak diajaknya berunding. Dari perundingan itu, dicapai kesepakatan bahwa wilayah bekas Tamperan dibagi menjadi dua yaitu, kerajaan Sunda di serahkan kepada Rahyang Banga, sedangkan Kerajaan Galuh diserahkan kepada Ciung Wanara atau Manarah.
Kerajaan Galuh Pada Masa Ciung Wanara
Sang Manarah yang disebut juga Ciung Wanara atau Prabu Suratama Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memeritah di Galuh dari tahun 739-783 Masehi. Ciung Wanara dijodohkan dengan cicit Demunawan yang bernama Kancana Wangi. Dari perkawinan ini dikaruniai anak bernama purbasari yang kelak menikah dengan Sang Manistri atau Lutung Kasarung.
Ciung Wanara memerintah selama kurang lebih 44 tahun, dengan wilayah pemerintahannya antara daerah Banyumas sampai ke Citarum, setelah cukup lama memerintah, Ciung Wanara mengundurkan diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung, suami dari Purbasari.
Pada tahun 783, Manarah melakukan manurajasuniya yakni mengakhiri hidupnya dengan bertapa.
Kisah Prabu Adimulya dan Ciung Wanara atau Sang Manarah serta tempat yang disebut Bojong Galuh Karangkamulyan yang sekarang terletak di Kecamatan Cijeungjing, telah menjadi penuturan yang turun temurun serta tidak asing lagi bagi masyarakat yang berada di Kabupaten Ciamis yang dulunya bernama Kabupaten Galuh.
SITU LENGKONG
Kisah Terjadinya Situ Lengkong
Menurut sejarah Panjalu, Situ Lengkong bukanlah situ alam yang terjadi dengan sendirinya, akan tetapi hasil buatan para leluhur Panjalu. Dimana dahulu kala sejak lebih kurang abad ke tujuh masehi (menurut catatan kebudayaan abad ke 15) di Panjalu telah ada Kerajaan Hindu yang bernama kerajaan Panjalu.
Awal abad ke tujuh, Raja yang memerintah ialah Prabu Syang Hyang Cakradewa. Raja mempunyai keinginan agar putra mahkota sebagai calon pengganti raja haruslah memiliki terlebih dahulu ilmu yang paling ampuh dan paling sempurna. Berangkatlah sang mahkota “Borosngora” lama sekali, tetapi tidak seorangpun diantara Wiku, para Resi dan para Pertapa yang sanggup menggugurkan ilmu tersebut. Akhirnya putera mahkota sampailah di Tanah Suci Mekah. Disanalah tujuan tercapai, yaitu mempelajari dan memperdalam Agama Islam (Dua Kalimah Syahadat).
Setelah cukup lama, maka pulanglah sang putera mahkota ke negara Panjalu dengan dibekali Air Zamzam, pakaian kesultanan serta perlengkapan Pedang dan Cis dengan tugas harus menjadi Raja Islam dan sekaligus mengislamkan rakyatnya. Kemudian beliau menjadi Raja Panjalu menggantikan ayahandanya dengan gelar Syang Hyang Borosngora.
Mulai saat itulah Kerajaan Panjalu berubah dari Kerajaan Hindu menjadi Kerajaan Islam. Air Zamzam yang dari Mekah ditumpahkan ke sebuah lembah yang bernama Lebah Pasir Jambu, kemudian lembah itu airnya bertambah banyak dan terjadilah Danau yang kini disebut Situ Lengkong.
Pedang, Cis dan Pakaian Kesultanan disimpan di Museum Bumi Alit yang waktu itu merupakan Museum Kerajaan. Istana Kerajaan dipindahkan dari Pasir Dayeuh Luhur ke Nusa Gede Panjalu, sehingga dengan demikian air Situ Lengkong merupakan benteng pertahanan Keraton.
Situ Lengkong atau disebut juga Situ Panjalu merupakan salah satu sisa-sisa peninggalan raja-raja Panjalu yang sekarang masih ada. Benda-benda peninggalan yang masih ada berupa dolmen, lingga, dan batu bekas singgasana/bertapa raja.
Bumi Alit, Situ Lengkong dan upacara nyangku merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah pada waktu Agama Islam masuk ke Kerajaan Panjalu yang merupakan awal terjadinya perkembangan sejarah baru.
Selanjutnya diceritakan pula bahwa Prabu Boros Ngora memindahkan keraton yang semula terletak di daerah Dayeuh Luhur ke Nusa Gede yang terletak ditengah- tengah Situ Lengkong. Selain keraton, ia juga memindahkan kepatihan yang disebut Hujung Winangun ke sebelah Barat Nusa Gede dan membuat taman serta kebun dan tempat rekrerasi di Nusa Pakel. Untuk memudahkan komunikasi, maka dibuat dua pintu gerbang untuk memasuki Keraton Nusa Gede, pintu gerbang yang pertama dibuat dari ukiran dan dijaga oleh Gulang-gulang yang berjenggot yang bernama Apun Obek. Sedangkan pintu gerbang yang ke dua merupakan jembatan yang menghubungkan Nusa Gede dengan daratan, letaknya di sebelah Barat yang dikenal dengan nama Cukang Padung (Jembatan dari balok-balok kayu) maka sekarang daerah-daerah tersebut dinamakan Dusun Cukang Padung.
Setelah Prabu Boros Ngora pindah ke Jampang maka kekuasaan Kerajaan Panjalu diserahkan kepada anaknya Raden Hariang Kuning dan selanjutnya diberikan kepada adiknya yang bernama Raden Hariang Kencana (Embah Panjalu yang dimakamkan di Situ Lengkong, yang menurunkan raja-raja Panjalu selanjutnya.
Data Teknis Situ Lengkong Panjalu
Luas Situ Lengkong adalah 57,95 Ha dan Nusa Gede 9,25 Ha. Jadi luas seluruhnya adalah 67,2 Ha dengan kedalaman air 4 m – 6 m. Situ ini berdiri di atas ketinggian 731 meter di atas permukaan laut.
Nusa Gede
Ditengah Situ Lengkong teerdapat pulau yang diberi nama Nusa Gede yang luasnya 9,25 Ha yang dulunya menurut cerita sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu, sehingga situ merupakan benteng pertahanan dan untuk mencapai tempat itu harus melalui jembatan yang di dalam babad Panjalu disebut Cukang Padung.
Sekarang Nusa Gede menjadi hutan lindung di bawah pengawasan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang didalamnya terdapat cagar budaya dibawah lindungan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang berkedudukan di Serang, luasnya kurang lebih 0,5 Ha dimana terdapat makam penyebar Islam yang disebut Mbah Panjalu, yang menurut Gus Dur adalah Sayid Ali Bin Muhamad bin Umar yang datang dari Pasai (Aceh/Sumatra). Sedangkan buku Babad Panjalu di sebut Haring Kencana Putra Borosngora dan menurut pakar sejarah Profesor DR Ayat Rohaedi adalah Wastu Kencana Raja Sunda Galuh yang berkedudukan di Kawali. Di dalam hutan terdapat 307 pohon yang terdiri dari 30 jenis.
Acara Nyangku
Asal-usul Upacara Adat Sakral Nyangku
Dalam upacara sakral Nyangku, Museum Bumi Alit dan Situ Lengkong, satu sama lain saling berhubungan. Ketiga-tiganya merupakan tonggak sejarah terjadinya pergeseran keadaan sejarah Panjalu Lama ke Panjalu Baru.
Upacara adat sakral Nyangku juga merupakan peninggalan raja-raja Panjalu yang sekarang masih ada
Upacara adat sakral Nyangku pada jaman dahulu merupakan suatu misi yang agung, yaitu salah satu cara untuk menyebarkan agama Islam agar rakyat Panjalu memeluk agama Islam. Upacara adat sakral Nyangku biasanya dilaksanakan setiap tahun satu kali yaitu pada bulan Robiul Awal (Maulud) pada minggu terakhir hari Senin dan Jum’at.
Istilah Nyangku berasal dari bahasa Arab yaitu “Yanko”, yang artinya membersihkan. Karena salah mengucapkan orang Sunda maka menjadi “Nyangku”. Upacara adat sakral Nyangku adalah upacara membersihkan benda-benda pusaka peninggalan para leluhur Panjalu.
Tujuan dari upacara adat sakral Nyangku adalah untuk merawat benda-benda pusaka supaya awet dengan tata cara tersendiri sebagai tradisi atau adat. Namun hakikat dari upacara adat sakral Nyangku adalah membersihkan dari segala sesuatu yang dilarang oleh agama. Selain merawat benda-benda pusaka upacara adat sakral Nyangku juga bertujuan untuk memperingati maulud Nabi Muhammad SAW dan mempererat tali persaudaraan keturunan Panjalu.
Pelaksanaan Upacara Adat Sakral Nyangku
Penyelenggaraan upacara adat sakral nyangku dilaksananak oleh para sesepuh Panjalu, unsur pemerintah desa, instansi-instansi yang terkait, LKMD, tokoh masyarakat, dan para Kuncen. Jalannya upacara adat sakral Nyangku dikoordinir oleh Yayasan Noros Ngora dan desa.
Sebagai persiapan upacara adat sakral Nyangku, semua keluarga keturunan Panjalu menjelang maulud Nabi Muhammad Saw biasanya jaman dulu suka menyediakan beras sebagai bahan sesajen untuk membuat tumpeng. Beras tersebut harus dikupas dengan tangan dari tanggal satu Maulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan upacara Nyangku. Selanjutnya para warga keturunan Panjalu mengunjungi makan raja-raja Panjalu untuk berziarah dan memberitahukan upacara kepada kuncen-kuncen para leluhur Panjalu.
Kemudian dilakukan pengambilan air untuk membersihkan benda-benda pusaka dari tujuh sumber mata air: 1. Mata air Situ Lengkong, 2. Karantenan, 3. Kapunduhan, 4. Cipanjalu, 5. Kubangkelong, 6. Pasanggrahan dan 7. Kulah Bongbang Kancana. Pengambilan air dilakukan oleh kuncen Bumi Alit atau petugas yang ditunjuk. Keperluan lain yang diperlukan dalam upacara adalah sesajen yang terdiri dari tujuah macam dan ditambah umbi-umbian, ke tujuh macam itu adalah: 1. ayam panggang, 2. tumpeng nasi merah, 3. tumpeng nasi kuning, 4. ikan dari Situ Lengkong, 5. sayur daun kelor, 6. telur ayam kampung dan 7. umbi-umbian. Selain itu juga ditambah tujuah macam minuman yaitu : 1. kopi pahit, 2. kopi manis, 3. air putih, 4. air teh, 5. air mawar, 6. air bajigur, dan 7. rujak pisang. Perlengkapan yang lain yang diperlukan dalam upacara adalah sembilan payung dan kesenian Gemyung untuk mengiringi jalannya upacara.
Sebelum upacara adat sakral Nyangku dilaksanakan, pada malam harinya diadakan suatu acara Mauludan untuk memperingati kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para sesepuh Panjalu serta masyarakat yang datang dari berbagai penjuru dengan susunan acara biasanya:
1. Pembuka,
2. Pembacaan ayat suci Alqur’an diteruskan dengan tawasul dan membaca berzanzi,
3. Penjelasan atau riwayat singkat pelaksanaan Nyangku oleh ketua Yayasan Boros ngora yaitu Bapak H. Atong Cakradinata,
4. Sambutan-sambutan.
1. Wakil dari pemerintah daerah
2. Sesepuh Panjalu
3. Kasi kebudayaan Depdiknas Kabupaten Ciamis
4. Uraian Maulid Nabi.
5. Do’a dan tutup dilanjutkan dengan acara kesenian Gemyung yang dilaksanakan semalam suntuk sampai pukul 03.00.
Pada pagi harinya dengan berpakaian adat kerajaan, para sesepuh Panjalu dan keluarga besar Yayasan Borosngora berjalan beriringan menuju Bumi alit, tempat benda-benda pusaka disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan sholawat Nabi Muhammad SAW, kemudian benda pusaka yang sudah dibungkus dengan kain putih mulai disiapkan untuk segera diarak menuju tempat pembersihan.
Perjalanannya dikawal oleh peserta upacara adat serta diiringi dengan musik gemyung dan bacaan sholawat Nabi. Benda-benda pusaka diarak kurang lebih sejauh1 Km menuju Nusa Gede Situ Lengkong. Pada upacara Nyangku selain diiringi oleh musik gemyung juga didiringi oleh upacara adat. Barisan pembawa bendera umbul-umbul, penabuh gemyung dan barisan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan dengan para pembawa bendera pusaka.
Kemudian setelah sampai di Situ Lengkong dengan perahu mereka menuju Nusa Gede dengan dikawal oleh perahu sebanyak 20 buah, kemudian diarak kembali menuju bangunan kecil yang ada di Nusa gedeberupa bangku yang beralaaskan kasur yang khusus dibuat untuk upacara Nyangku. Benda-benda pusaka kemudian disimpan di atas kasur tersebut dan satu persatu mulai dibuka bungkusnya lalu diperlihatkan kepada pengunjung sambil dibacakan riwayatnya oleh H. Atong Cakradinata. Setelah itu benda-benda pusaka mulai dibersihkan dengan air dari tujuh sumber memakai jeruk mipis. Yang pertama kali dibersihkan adalah pedang Sanghyang Boros Ngora. Setelah selesai dicuci lalu dioles minyak kelapa yang dibuat khusus lalu dibungkus dengan cara melilitkan zanur (daun Kelapa muda) kemudian dibungkus kembali dengan kain putih yang terdiri dari tujuh lapis, kemudian memakai tali dari benang boeh dan dikeringkan dengan asap kemenyan, setelah itu disimpan kembali di Bumi alit.
Pelaksanaan upacara adat sakral Nyangku tidak selamanya dilaksanakan di balai desa atau di alun-alun tergantung situasi dan kondisi. Namun walaupun dilaksanakan di balai desa atau di alun-alun tetapi tidak mengurangi kesakralannya. Kadang-kadang sebelum rombongan datang ke bale desa, diadakan penjemputan dengan karesmen adat seolah-olah yang datang itu calon pengantin pria dan diramaikan oleh berbagai kesenian diluar kesenian Gemyung. Bahkan di alun-alun seminggu sebelum hari H, Nyangku sudah ada kegiatan pasar malam.
Benda-benda yang dibersihkan pada upacara adat sakral Nyangku adalah diantaranya sebagai berikut:
1. Pedang sebagai senjata pembela diri dalam rangka menyebarkan agama Islam.
2. Cis sebagai senjata pembela dalam rangka menyebarkan agama Islam
3. Kujang bekas membelah belanga yang menutupi kepala Bombang Kancana.
4. Keris komando senjat bekas para raja Panjalu sebagai tongkat komando.
5. Keris pegangan para Bupati Panjalu.
6. Pancaworo senjata perang
7. Bangreng merupakan senjata perang
8. Gong kecil alat untuk mengumpulkan rakyat dimasa yang dulu
9. Semua Benda Pusaka yang ada di keluarga Yayasan Borosngora dan benda pusaka yang ada dimasyarakat Panjalu.
Bumi Alit
Bumi Alit merupakan suatu bangunan tempart enyimpanan benda-benda pusaka kerajan sewaktu Kerajaan Panjalu berdiri sampai sekarang. Letak Bumi Alit tidak jauh dari Situ Lengkong, tempatnya terletak dekat terminal Panjalu. Bumi Alit yaitu suatubangunan kecil yang ditempatkan pada suatu tempat yang diberi nama “Pasucian”. Nama pasucian diberikan oleh pendirinya yaitu seorang Raja Panjalu yang bernama Prabu Sanghyang Boros Ngora atau Syeh Haji Dul Imam, yang merupakan Raja Panjalu yang memeluk agama Islam.
Bumi Alit atau pasucian pada awalnya terletak di Buni Sakti, kemudian dipindahkan ke Desa Panjalu oleh Prabu Sanghyang Boros Ngora bersamabenda-benda pusaka Kerajaan Panjalu.
Bentuk Bumi Alit yang lama masih berbentuk tradisional, tenmpatnya masih berupa tanaman lumut yang dibatasi oleh batu-batu besar. Sedangkan disekelilingnya dipagari oleh tanaman waregu, di tengah tanaman itu berdiri bangunan Bumi alit yang berukuran besar. Bangunan yang dulu terbuat dari kayu, bambu dan ijuk, bawahnya bertiang tinggi, badan bangunan berdinding bilik sedangkan atapnya dari suhunan ijuk berbentuk pelana. Ujung bungbung menciut berujung runcing dan ditutup dengan papan kayu berukir. Pada sisi bagian barat terdapat pintu kecil yang depannya terdapat tangga kayu yang kuat dari kayu balok tebal.
Bumi Alit yang sekarang ini adalah hasil dari pemugaran pada tahun 1955 yang dilaksanakan oleh warga Panjalu dan sesepuh Panjalu yang bernama R.H. Sewaka, Alm.
Sedangkan bentuk bangunan Musium Bumi Alit yang sekarang ini adalah campuran bentuk modern dengan bentuk masjid jaman dahhulu yang beratapkan susun tiga. Pintu masuk ke Musium Bumi alit terdapat patung ular bermahkota dan dipintu gerbang atau gapura terdapat patung kepala gajah.
Pemeliharaan Musium Bumi Alit dilakukan oleh pemerintah desa Panjalu dibawah pengawasan Departemen pendidikan dan kebudayaan Kabupaten Ciamis.
Siloka
Berbicara tentang siloka memang orang-orang jaman dahhulu sering segala sesuatu pepatah dinyatakan dengan siloka.
Contoh:
* Ø Gayung Bungbas adalah siloka diri manusia seperti Rusa/Gayung Bungbas. Bila pagi-pagi diisi makanan, sorenya akan kosong. Ia (terbuang airnya) dan akan minta diisi lagi. Bila hidup hanya untuk makan/memuaskan nafsu tidak akan ada puasnya, manusia jadi rakus dan kosong tiada arti. Agar hidup jadi berarti, orang mesti beragama, beriman, berilmu, beramal baik/beramal soleh.
* Ø Gayung Bungbas dapat penuh dengan air zamzam, berarti isilah diri dengan agama/kesucian.
* Ø Gayung Bungbas dapat penuh dengan air zamzam, berarti isilah diri dengan agama/kesucian.
* Ø Situ Lengkong yang berasal dari air zamzam, dijadikan Benteng keraton, mengandung siloka yang berarti: “Tiada penangkal hidup yang baik, kecuali kesucian, yaitu suci di dalam hati, suci dalam ucap, suci dalam perbuatan dan suci dalam makanan dan pakaian”.
Pengalaman Prabu Anom Syang Hyang Borosngora sendiri sewaktu muda dimana beliau telah memiliki berbagai ilmu gaib penangkal hidup, ternyata tidak mampu melawan ilmu ajaran Nabi yang dimiliki Sayidina Ali RA.
Dari situ lahirlah petuah Panjalu. Petuah yang bernapaskan Islam.
“MANGAN KARNA HALAL, PAKE KARNA SUCI TEKAD – UCAP-LAMPAH – SABEUNEURE”
Prabu Syang Hyang Borosngora menjadikan Situ Lengkong tersebut untuk sumber air minum dan tidak boleh dikotori, bagi penduduk di kala itu, artinya orang Panjalu hendaklah berdarah air zamzam. Agar orang Panjalu berbakat suci, hidup dalam agama. Selain itu pula, gelar Syang Hyang Borosngora , adalah gelar siloka. Boros artinya Rebung yang tumbuh disela-sela induknya menerobos lapisan-lapisan tanah, sisa-sisa hutan belukar merupakan tatanan kehidupan lama, lalutimbuh dan berkembang, mengembang sebagai pembaharuan, membawa benih tatanan hidup baru yang lebih baik dan lebih maju.
Sejarah Galuh maupun sejarah Panjalu kebanyakan mengambil data-data dari cerita rakyat yang ditulis atau diceritakan lagi oleh masyarakat secara turun temurun yang tulisannya maupun isinya rata-rata berbau mitos sesuai dengan jamannya.
Dari pengumpulan data-data yang dikimpulkan oleh penulis selama 10 tahun lebih, ternyata didapatkan bermacam-macam versi. Walaupun demikian, nama tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu hampir sama. Sedangkan yang membedakannya hanyalah cerita darimana tokoh itu berasal dan kapan memerintahnya.
Nama tokoh dimulai dari pendiri Kerajaan Panjalu yaitu Rangga Gumilang terus Lembu Sampulur, Cakra Dewa, Borosngora, Hariang Kencana sampai Bupati terakhir yaitu Rd. Cakradinata III.
Yang membedakan adalah asal usul tokoh tersebut, karena setiap cerita rakyat yang diceritakan masyarakat secara turuntemurun maupun cerita rakyat yang ditulis pada naskah kuno berrbeda kisahnya sehingga untuk menentukan tahun serta masa pemerintahannya sangat sukar dan akan berbeda pendapat.
Salah satu contoh untuk menetukan masa atau tahun berdirinya Kerajaan Panjalu apakah abad ke VII atau abad ke XIII atau abad ke XV. Ini adalah tantangan bagi para ahli sejarah terutama akademika untuk terus menyelusurinya.
Para Raja dan Bupati Panjalu
1. Prabu Rangga gumilang
2. Lembu Sampulur putra Rangga Gumilang
4. Prabu Cakra Dewa
5.Prabu Borosngora
6. Hariang Kuning
7. Hariang Kencana
8. Dipati Hariang Kuluk Kukunang Teko
9. Dipati Hariang Kanjut Kandalikancana
10. Dipati Hariang Martabaya
11. Dipati Hariang Kunang Natabaya
12. Aria Sumalah
13. Aria Secamata (Aria Salingsingan)
14. Dalem Aria Wirabaya
15. Dalem Wirapraja
16. Rd. Tmg Cakranegara I
17. Rd. Tmg Cakranagara II
18. Rd. Tmg Cakranagara III
PANGANDARAN
Pangandaran sekarang menjadi nama desa, nama kecamatan, nama kewadanaan, dan nama ibukota Kecamatan Pangandaran. Kecamatan Pangandaran dengan jumlah penduduk 69.646, luas 14.132 Ha, didukung oleh hotel dan penginapan sebanyak 203 buah menjadikan daerah Pangandaran sebagai daerah pariwisata. Selain keindahan pantainya, Pangandaan memiliki Cagar Alam Pananjung, yang luasnya 530 Ha, di dalamnya terdapat gua-gua alam dan Situs Batu Kalde yang diperkirakan sebagai peninggalan Kerajaan Pananjung pada abad sekitar 15.
Pananjung selain sebagai cagar alam dibawah pengawasan KSDA (Konservasi sumber Daya Alam) juga merupakan perlindungan terhadap binatang langka yaitu Banteng.
Pada tahun 1985 di Cagar Alam Pananjung ditemukan bunga bangkai yang disebut Rafflesia yang sekarang atas prakasa Bapak Bupati H. Dedem Ruchlia dijadikan Maskot Kabupaten Ciamis yang sekarang berdiri megah di Taman bunga Alun-alun Ciamis.
Sebelum tahun 1985 ke Pangandaran selain menggunakan jalan aspal kita dapat menggunakan jasa kereta api yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1912.
Bermacam kenangan menurut orang tua yang pernah naik kerketa api mulai naik dari kereta api lokomotif sampai tahun 1970, dan diteruskan dengan kereta disel sampai tahun 1985.
Disamping terowongan , yang sangat unik adalah jembatan yang sangat panjang bagi ukuran di Jawa Barat, yaitu Cikacepit yang panjangnya 268,8 m, dan jembatan Panarekean yang panjangnya 270 m dengan ketinggian 62,6 m. Kenangan bagaimana di dalam terowongan selama beberapa menit yang gelap gulita dipakai oleh para penumpang sebagai kenangan yang tidak terlupakan. Pemandangan yang sangat indah mulai dari stasiun Kalipucang sampai Pangandaran, karena selain melewati lereng-lereng gunung yang menghijau juga terlihat hamparan Laut Hindia.
Kenangan itu akan diwujudkan kembali, karena mulai awal 1998 jalan kereta api yang sudah terhenti selama 15 tahun yang diakibatkan meletusnya Gunung Galunggung pada ahun 1982 sedang dibangun kembali oleh PJKA bersama pemerintah daerah setempat.
Pangandaran adalah salah satu daerah wisata yang merupakan “basisnya” Ronggeng Gunung yang tersebar di beberapa desa.
Nama Pangandaran tidak tiba-tiba menjelma begitu saja tapi memang mengandung riwayatnya tersendiri yang lahir tanpa papan nama.
Menurut orang tua, hal ikhwal Pangandaran berasal dari kata Pangan dan Andar-andar. Sudah barang tentu yang namanya pangan adalah makanan, sedangkan andar-andar identik dengan orang pendatang baru. Jadi harfiahnya dalam logat Jawa “Wong golek pangan” atau mencari nafkah. Suku ‘an’ di sana bukan merupakan akhiran sebagaimana termaktub dalam EYD, melainkan hanya sebagai akibat yang tujuannya untuk memperlengkap nama saja yang acuannya untuk mempermudah sebutan supaya lebih komunikatif.
Nama Pangandaran sudah tidak asing lagi bagi kita. Pangandaran adalah suatu kawasan wisata yang potensial di Ciamis Selatan, Jawa Barat, yang merupakan sumber petro dollar sang primadona yang banyak meraup keuntungan.
Letak geografisnya sangat strategis dan menguntungkan, dan seperti umumnya daerah pantai, kehidupan utama masyarakat di sekitarnya adalah nelayan. Bahasa yang merupakan alat komunikasi sehari-hari jika ditelusuri atau ditelaah tercatat ada 3, yaitu (1) yang mendominasi adalah Bahasa Jawa, (2) Bahasa Sunda, dan (3) Bahasa “Jawa Reang” sebagai pengganti istilah bahasa campuran. Namun uniknya kendatipun masyarakatnya berlatar belakang Jawa, tapi yang hidup dan telah memasayarakat adalah kebudayaan tradisional Seni Tari Sunda yang terkenal dengan sebutan “Ronggeng Gunung”. Seni lain yang ada di daerah itu di antaranya adalah Ronggeng Doger dan Ibing Tayub (keduanya sama sekali berbeda dengan ronggeng Gunung). Seni lain yang ada tapi tidak populer di daerah itu adalah Kuda lumping atau Ebeng, Sintren, Janeng, dan Wayang Kulit.
Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya
Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739-766).
Manarah, dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan memerintah di Galuh antara tahun 739-783.[4] Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya, yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua, tapi juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru, yang ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat.
Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga; sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).
Hubungan Sunda Galuh dan Sriwijaya
Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Hubungan dengan berdirinya Majapahit
Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota Rakeyan Jayadarma, dan berkedudukan di Pakuan. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Rakeyan Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur, karena ia berjodoh dengan putrinya bernama Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Ateleng, yang merupakan anak dari Ken Angrok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.
Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya yang dikatakan terlahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke-4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, Raden Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.
Dalam Babad Tanah Jawi Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pasundan. Sebagai keturunan Jayadarma, ia adalah penerus tahta Kerajaan Sunda-Galuh yang sah, yaitu apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu mangkat. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota, karena Raden Wijaya berada di Jawa Timur dan kemudian menjadi raja pertama Majapahit.
Daftar raja-raja Sunda Galuh
Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati, yang berjumlah 20 orang :
Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati
No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Maharaja Tarusbawa 669-723
2 Sanjaya Harisdarma 723-732 cucu-menantu no. 1
3 Tamperan Barmawijaya 732-739
4 Rakeyan Banga 739-766
5 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766-783
6 Prabu Gilingwesi 783-795 nmenantu no. 5
7 Pucukbumi Darmeswara 795-819 menantu no. 6
8 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891
9 Prabu Darmaraksa 891-895 adik-ipar no. 8
10 Windusakti Prabu Dewageng 895-913
11 Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi 913-916
12 Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa 916-942 menantu no. 11
13 Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa 942-954
14 Limbur Kancana 954-964 anak no. 11
15 Prabu Munding Ganawirya 964-973
16 Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung 973-989
17 Prabu Brajawisesa 989-1012
18 Prabu Dewa Sanghyang 1012-1019
19 Prabu Sanghyang Ageng 1019-1030
20 Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati 1030-1042
Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13 orang :
Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon
No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Wretikandayun 670-702
2 Rahyang Mandiminyak 702-709
3 Rahyang Bratasenawa 709-716
4 Rahyang Purbasora 716-723 sepupu no. 3
5 Sanjaya Harisdarma 723-724 anak no. 3
6 Adimulya Premana Dikusuma 724-725 cucu no. 4
7 Tamperan Barmawijaya 725-739 anak no. 5
8 Manarah 739-783 anak no. 6
9 Guruminda Sang Minisri 783-799 menantu no. 8
10 Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan 799-806
11 Sang Walengan 806-813
12 Prabu Linggabumi 813-852
13 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891 ipar no. 12
Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14 orang :
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Darmaraja 1042-1065
2 Langlangbumi 1065-1155
3 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155-1157
4 Darmakusuma 1157-1175
5 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175-1297
6 Ragasuci 1297-1303
7 Citraganda 1303-1311
8 Prabu Linggadéwata 1311-1333
9 Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 menantu no. 8
10 Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350
11 Prabu Maharaja Linggabuanawisésa 1350-1357 tewas dalam Perang Bubat
12 Prabu Bunisora 1357-1371 paman no. 13
13 Prabu Niskala Wastu Kancana 1371-1475 anak no. 11
14 Prabu Susuktunggal 1475-1482
Penyatuan kembali Sunda-Galuh
Saat Wastu Kancana wafat, kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam pemerintahan anak-anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh).
Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Setelah runtuhnya Sunda Galuh oleh Kesultanan Banten, bekas kerajaan ini banyak disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.
Pusat Pemerintahan Berpindah-pindah
Telah dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895) dibunuh oleh seorang menteri Sunda yang fanatik.
Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25, yaitu Prabu Guru Darmasiksa mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian wilayah maupun dalam pengertian etnik. Menurut Pustaka Paratwan i Bhumi Jawadwipa, Parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota Tarumanagara yang baru didirikannya, Sundapura. Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena Sundapura mengandung arti kota suci atau kota murni, sedangkan Galuh berarti permata atau batu mulia (secara kiasan berarti gadis).
Dampak Sosial yang Ditimbulkan
Proses kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita) namun pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu "orang air", sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos buaya", yang lain "mitos harimau".
Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama Panereban. Tempat yang bernama demikian pada masa silam merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus "dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang Kanekes yang masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan tradisi "ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah panereban dan pasarean).
Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu "Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas Sunda ini sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan masyarakat, padahal mereka tahu, bahwa dalam kenyataan sehari-hari monyet dan kuya itu bertemu saja mugkin tidak pernah (di kebun binatang pun tidak pernah diperkenalkan).
Peran bergeser ke timur
Dalam abad ke 14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali (artinya kuali atau belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Sebenarnya gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa pemerintahan Prabu Ragasuci (1297-1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya Prabu Citraganda, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Ragasuci sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya Rakeyan Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, yang lahir di Pakuan.
Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja Majapahit yang pertama.
Sementara itu, kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci, Citraganda, sebagai calon ahli warisnya. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa, puteri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana isteri Kertanegara. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Prabu Lingga Dewata, putera Citraganda, mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340 sudah berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333-1482 adalah Jaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal lima orang raja.
Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di Astana Gede, Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di medan Bubat dalam tahun 1357. Ketika terjadi Pasunda Bubat, usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean, sedangkan dalam Babad Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.
Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir Sang Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang kedua adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinannya dengan Mayangsari lahir Ningrat Kancana, yang setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. Jayadewata, putera Dewa Niskala, mula-mula memperistri Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian memperistri Subanglarang. Yang terakhir ini adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura.
Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama dua tahun. Ia adalah nenek Syarif Hidayatullah.
Kemudian Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan.
Ciung Wanara memang menarik untuk ditelusuri, karena selain menyangkut cerita tentang Kerajaan Galuh, juga dibumbui dengan hal luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.
Kisah Ciung Wanara merupakan cerita tentang kerajaan Galuh (sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit dan Pajajaran). Tersebutlah raja Galuh saat itu Prabu Adimulya Sanghyang Cipta Permana Di Kusumah dengan dua permaisuri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Mendekati ajal tiba Sang Prabu mengasingkan diri dan kekuasaan diserahkan kepada patih Bondan Sarati karena Sang Prabu belum mempunyai anak dari permaisuri pertama (Dewi Naganingrum). Singkat cerita, dalam memerintah raja Bondan hanya mementingkan diri sendiri, sehingga atas kuasa Tuhan Dewi Naganingrum dianugerahi seorang putera, yaitu Ciung Wanara yang kelak akan menjadi penerus kerajaan Galuh dengan adil dan bijaksana.
Bila kita telusuri lebih jauh kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda, berada dalam sebuah tempat berupa struktur bangunan terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.
Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan kisah, begitu pula beberapa lokasi lain yang terdapat di dalamnya yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau cerita tentang kerajaan Galuh seperti ; pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.
Situs Karangkamulyan merupakan peninggalan Kerajaan Galuh Pertama menurut penyelidikan Tim dari Balar yang dipimpin oleh Dr Tony Jubiantoro pada tahun 1997. Bahwasannya di tempat ini pernah ada kehidupan mulai abad ke IX, karena dalam penggalian telah ditemukan keramik dari Dinasti Ming. Situs ini terletak antara Ciamis dan Banjar, jaraknya sekitar 17 km ke arah timur dari kota Ciamis atau dapat ditempuh dengan kendaraan sekitar 30 menit.
Situs ini juga dapat dikatakan sebagai situs yang sangat strategis karena berbatasan dengan pertemuan dua sungai yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur, dengan batas sebelah utara adalah jalan raya Ciamis-Banjar, sebelah selatan sungai Citanduy, sebelah barat merupakan sebuah pari yang lebarnya sekitar 7 meter membentuk tanggul kuno, dan batas sebelah timur adalah sungai Cimuntur. Karena merupakan peninggalan sejarah yang sangat berharga, akhirnya kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya oleh Pemerintah.
Udara yang cukup sejuk terasa ketika kita memasuki gerbang utama situs ini. Tempat parkir yang luas dengan pohon-pohon besar disekitar semakin menambah sejuk Setelah gerbang utama, situs pertama yang akan kita lewati adalah Pelinggih ( Pangcalikan ). Pelinggih merupakan sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih serta berbentuk segi empat, termasuk ke dalam golongan / jenis yoni ( tempat pemujaan ) yang letaknya terbalik, digunakan untuk altar. Di bawah Yoni terdapat beberapa buah batu kecil yang seolah-olah sebagai penyangga, sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen ( kubur batu ). Letaknya berada dalam sebuah struktur tembok yang lebarnya 17,5 x 5 meter.
Sahyang Bedil
Tempat yang disebut Sanghyang Bedil merupakan suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6.20 x 6 meter. Tinggi tembok kurang lebih 80 cm. Pintu menghadap ke arah utara, di depan pintu masuk terdapat struktur batu yang berfungsi sebagai sekat (schutsel). Di dalam ruangan ini terdapat dua buah menhir yang terletak di atas tanah, masing-masing berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Bentuknya memperlihatkan tradisi megalitik. Menurut masyarakat sekitar, Sanghyang Bedil dapat dijadikan pertanda datangnya suatu kejadian, terutama apabila di tempat itu berbunyi suatu letusan, namun sekarang pertanda itu sudah tidak ada lagi.
Penyabungan Ayam
Tempat ini terletak di sebelah selatan dari lokasi yang disebut Sanghyang Bedil, kira-kira 5 meter jaraknya, dari pintu masuk yakni berupa ruang terbuka yang letaknya lebih rendah. Masyarakat menganggap tempat ini merupakan tempat sabung ayam Ciung Wanara dan ayam raja. Di samping itu merupakan tempat khusus untuk memlih raja yang dilakukan dengan cara demokrasi.
Lambang Peribadatan
Batu yang disebut sebagai lambang peribadatan merupakan sebagian dari kemuncak, tetapi ada juga yang menyebutnya sebagai fragmen candi, masyarakat menyebutnya sebagai stupa. Bentuknya indah karena dihiasi oleh pahatan-pahatan sederhana yang merupakan peninggalan Hindu. Letak batu ini berada di dalam struktur tembok yang berukuran 3 x 3 m, tinggi 60 cm. Batu kemuncak ini ditemukan 50 m ke arah timur dari lokasi sekarang. Di tempat ini terdapat dua unsur budaya yang berlainan yaitu adanya kemuncak dan struktur tembok. Struktur tembok yang tersusun rapi menunjukkan lapisan budaya megalitik, sedangkan kemuncak merupakan peninggalan agama Hindu.
Panyandaran
Terdiri atas sebuah menhir dan dolmen, letaknya dikelilingi oleh batu bersusun yang merupakan struktur tembok. Menhir berukuran tinggi 120 cm, lebar 70 cm, sedangkan dolmen berukuran 120 x 32 cm. Menurut cerita, tempat ini merupakan tempat melahirkan Ciung Wanara. Di tempat itulah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi Naganingrum yang kemudian bayi itu dibuang dan dihanyutkan ke sungai Citanduy. Setelah melahirkan Dewi Naganingrum bersandar di tempat itu selama empat puluh hari dengan maksud untuk memulihkan kesehatannya setelah melahirkan.
Cikahuripan
Di lokasi ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi hanya merupakan sebuah sumur yang letaknya dekat dengan pertemuan antara dua sungai, yaitu sungai Citanduy dan sungai Cimuntur. Sumur ini disebut Cikahuripan yang berisi air kehidupan, air merupakan lambang kehidupan, itu sebabnya disebut sebagai Cikahuripan. Sumur ini merupakan sumur abadi karena airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.
Dipati Panaekan
Di lokasi makam Dipati Panaekan ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi merupakan batu yang berbentuk lingkaran bersusun tiga, yakni merupakan susunan batu kali. Dipati Panaekan adalah raja Galuh Gara Tengah yang berpusat di Cineam dan mendapat gelar Adipati dari Sultan Agung Raja Mataram.
Setelah puas mengelilingi Situs ini, puluhan warung makan dengan menu khasnya pepes ayam dan pepes ikan mas merupakan pelengkap ketika kita berkunjung ke tempat ini. Apalagi minumannya air kelapa alami langsung dari buahnya semakin menambah asyiknya suasana. Walaupun hanya berupa situs-situs purbakala tampaknya tempat ini dikelola dengan cukup bagus, terbukti dengan kebersihan yang cukup terjaga di sekitar lokasi.
Makam - makam
Grup ini dibuat bukan untuk membuat kita jadi musyrik atau meninggalkan aqidah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa tetapi mempunyai tujuan agar tali persaudaraan khususnya orang Sunda makin kuat dan masing-masing dapat mengetahui identitasnya sebagai orang Sunda. Berikut adalah karuhun-karuhun dan letak makam-makamnya:
Seri I
1. Pangeran Jayakarta (Rawamangun Jakarta)
2. Eyang Prabu Kencana (Gunung Gede, Bogor)
3. Syekh Jaenudin (Bantar Kalong)
4. Syekh Maulana Yusuf (Banten)
5. Syekh Hasanudin (Banten)
6. Syekh Mansyur (Banten)
7. Aki dan Nini Kair (Gang Karet Bogor)
8. Eyang Dalem Darpa Nangga Asta (Tasikmalaya)
9. Eyang Dalem Yuda Negara (Pamijahan Tasikmalaya)
10. Prabu Naga Percona (Gunung Wangun Malangbong Garut)
11. Raden Karta Singa (Bunarungkuo Gn Singkup Garut)
12. Embah Braja Sakti (Cimuncang, Lewo Garut)
13. Embah Wali Tangka Kusumah (Sempil, Limbangan Garut)
14. Prabu Sada Keling (Cibatu Garut)
15. Prabu Siliwangi (Santjang 4 Ratu Padjadjaran)
16. Embah Liud (Bunarungkup, Cibatu Garut)
17. Prabu Kian Santang (Godog Suci, garut)
18. Embah Braja Mukti (Cimuncang, Lewo Garut)
19. Embah Raden Djaenuloh (Saradan, Jawa Tengah)
20. Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya)
21. Eyang Siti Fatimah (Cibiuk, Leuwigoong Garut)
22. Embah Bangkerong (Gunung Karantjang)
23. Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
24. Eyang Prabu Tadji Malela (Gunung Batara Guru)
25. Prabu Langlang Buana (Padjagalan, Gunung Galunggung)
26. Eyang Hariang Kuning (Situ Lengkong Pandjalu Ciamis)
27. Embah Dalem Salinggih (Cicadas, Limbangan Garut)
28. Embah Wijaya Kusumah (Gunung Tumpeng Pelabuhan Ratu)
29. Embah Sakti Barang (Sukaratu)
30. Syekh Abdul Rojak Sahuna (Ujung Kulon Banten)
31. Prabu Tjanar (Gunung Galunggung)
32. Sigit Brodjojo (Pantai Indramayu)
33. Embah Giwangkara (Djayabaya Ciamis)
34. Embah Haji Puntjak (Gunung Galunggung)
35. Dewi Tumetep (Gunung Pusaka Padang, Ciamis)
36. Eyang Konang Hapa (Dayeuh Luhur, Sumedang)
37. Embah Terong Peot (Dayeuh Luhur, Sumedang)
38. Embah Sayang Hawu (Dayeuh Luhur, Sumedang)
39. Embah Djaya Perkasa (Dayeuh Luhur, Sumedang)
40. Prabu Geusan Ulun (Dayeuh Luhur, Sumedang)
41. Nyi Mas Ratu Harisbaya (Dayeuh Luhur, Sumedang)
42. Eyang Anggakusumahdilaga (Gunung Pusaka Padang Ciamis)
43. Eyang Pandita Ratu Galuh Andjarsukaresi (Nangerang)
44. Embah Buyut Hasyim (Tjibeo Suku Rawayan, Banten)
45. Eyang Mangkudjampana (Gunung Tjakrabuana, Malangbong Garut)
46. Embah Purbawisesa (Tjigorowong, Tasikmalaya)
47. Embah Kalidjaga Tedjakalana (Tjigorowong, Tasikmalaya)
48. Embah Kihiang Bogor (Babakan Nyampai, Bogor)
49. Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
50. Embah wali Mansyur (Tomo, Sumedang)
51. Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
52. Sunan Rumenggang (Gunung Batara Guru)
53. Embah Hadji Djaenudin (Gunung Tjikursi)
54. Eyang Dahian bin Saerah (Gunung Ringgeung, Garut)
55. Embah Giwangkarawang (Limbangan Garut)
56. Nyi Mas Layangsari (Gunung Galunggung)
57. Eyang Sunan Cipancar (Limbangan garut)
58. Eyang Angkasa (Gunung Kendang, Pangalengan)
59. Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)
60. Eyang Puspa Ligar (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
61. Kimandjang (Kalapa 3, Basisir Kidul)
62. Eyang Andjana Suryaningrat (Gunung Puntang Garut)
63. Gagak Lumayung (Limbangan Garut)
64. Sri Wulan (Batu Hiu, Pangandaran Ciamis)
65. Eyang Kasepuhan (Talaga Sanghiang, Gunung Ciremai)
66. Aki Manggala (Gunung Bentang, Galunggung)
67. Ki Adjar Santjang Padjadjaran (Gunung Bentang, Galunggung)
68. Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
69. Embah Hadji Muhammad Pakis (Banten)
70. Eyang Boros Anom (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
71. Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
72. Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
73. Embah Dalem Kasep (Limbangan Garut)
74. Eyang Imam Sulaeman (Gunung Gede, Tarogong)
75. Embah Djaksa (Tadjursela, Wanaraja)
76. Embah Wali Kiai Hadji Djafar Sidik (Tjibiuk, Garut)
77. Eyang Hemarulloh (Situ Lengkong Pandjalu)
78. Embah Dalem (Wewengkon, Tjibubut Sumedang)
79. Embah Bugis (Kontrak, Tjibubut Sumedang)
80. Embah Sulton Malikul Akbar (Gunung Ringgeung Garut)
81. Embah Dalem Kaum (Mesjid Limbangan Garut)
82. Mamah Sepuh (Pesantrean Suralaya)
83. Mamah Kiai Hadji Yusuf Todjiri (Wanaradja)
84. Uyut Demang (Tjikoneng Ciamis)
85. Regregdjaya (Ragapulus)
86. Kiai Layang Sari (Rantjaelat Kawali Ciamis)
87. Embah Mangun Djaya (Kali Serayu, Banjarnrgara)
88. Embah Panggung (Kamodjing)
89. Embah Pangdjarahan (Kamodjing)
90. Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo Garut)
Seri II
1. Embah Dipamanggakusumah (Munjul, Cibubur)
2. Aki Mandjana (Samodja, Kamayangan)
3. Eyang Raksa Baya (Samodja, Kamayangan)
4. Embah Dugal (Tjimunctjang)
5. Embah Dalem Dardja (Tjikopo)
6. Embah Djaengranggadisastra (Tjikopo)
7. Nyi Mas Larasati (Tjikopo)
8. Embah Dalem Warukut (Mundjul, Cibubur)
9. Embah Djaya Sumanding (Sanding)
10. Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding)
11. Embah Djaga Alam (Tjileunyi)
12. Sembah Dalaem Pangudaran (Tjikantjung Majalaya)
13. Sembah Dalem Mataram (Tjipantjing)
14. Eyang Nulinggih (Karamat Tjibesi, Subang)
15. Embah Buyut Putih (Gunung Pangtapaan, Bukit Tunggul)
16. Embah Ranggawangsa (Sukamerang, Bandrek)
17. Eyang Yaman (Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
18. Embah Gurangkentjana(Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
19. Embah Gadjah Putih (Tjikawedukan Gunung Wangun)
20. Ratu Siawu-awu (Gunung Gelap, Pameungpeuk Sumedang)
21. Embah Mangkunegara (Cirebon)
22. Embah Landros (Tjibiru Bandung)
23. Eyang latif (Tjibiru Bandung)
24. Eyang Penghulu (Tjibiru Bandung)
25. Nyi Mas Entang Bandung (Tjibiru Bandung)
26. Eyang Kilat (Tjibiru Bandung)
27. Mamah Hadji Umar (Tjibiru Bandung)
28. Mamah Hadji Soleh (Tjibiru Bandung)
29. Mamah Hadji Ibrahim (Tjibiru Bandung)
30. Uyut Sawi (Tjibiru Bandung)
31. Darya Bin Salmasih (Tjibiru Bandung)
32. Mamah Hadji Sapei (Tjibiru Bandung)
33. Embah Hadji Sagara Mukti (Susunan Gunung Ringgeung)
34. Eyang Istri (Susunan Gunung Ringgeung)
35. Eyang Dewi Pangreyep (Gunung Pusaka Padang Garut)
36. Ratu Ayu Sangmenapa (Galuh)
37. Eyang Guru Adji panumbang (Tjilimus Gunung Sawal)
38. Eyang Kusumah Adidinata (Tjilimus Gunung Sawal)
39. Eyang Rengganis (Pangandaran Ciamis)
40. Ki Nurba’in (Sayuran, Gunung Tjikursi)
41. Buyut Dasi (Torowek Tjiawi)
42. Embah Buyut Pelet (Djati Tudjuh Kadipaten)
43. Embah Gabug (Marongge)
44. Eyang Djayalaksana (Samodja)
45. Nyi Mas Rundaykasih (Samodja)
46. Nyi Mas Rambutkasih (Samodja)
47. Eyang Sanghiang Bongbangkentjana (Ujung Sriwinangun)
48. Eyang Adipati Wastukentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
49. Eyang Nila Kentjana (Situ Pandjalu, Ciamis)
50. Eyang Hariangkentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
51. Embah Dalem Tjikundul (Mande Cianjur)
52. Embah Dalem Suryakentjana (PantjanitiCianjur)
53. Embah Keureu (Kutamaneuh Sukabumi)
54. Ibu Mayang Sari (Nangerang Bandrek Garut)
55. Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek Garut)
56. Embah Sayid Kosim (Gunung Alung Rantjapaku)
57. Embah Bang Sawita (Gunung Pabeasan Limbangan Garut)
58. Uyut Manang Sanghiang (Banten)
59. Eyang Ontjar (Nyampai Gunung Bungrangrang)
60. Eyang Ranggalawe (Talaga Cirebon)
61. Ibu Siti Hadji Djubaedah (Gunung Tjupu Banjar Ciamis)
62. Mamah Sepuh (Gunung Halu Tjililin Bandung)
63. Embah Sangkan Hurip (Ciamis)
64. Embah Wali Abdullah (Tjibalong Tasikmalaya)
65. Mamah Abu (Pamidjahan Tasikmalaya)
66. Embah Dalem Panungtung Hadji Putih Tunggang Larang Curug Emas (Tjadas Ngampar Sumedang)
67. Raden AstuManggala (Djemah Sumedang)
68. Embah Santiung (ujung Kulon Banten)
69. Eyang Pandita (Nyalindung Sumedang)
70. Embah Durdjana (Sumedang)
71. Prabu Sampak Wadja (Gunung Galunggung Tasikmalaya)
72. Nyi Mas Siti Rohimah / Ratu Liongtin (Jambi Sumatera)
73. Eyang Parana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
74. Eyang Singa Watjana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
75. Eyang Santon (Kulur Tjipatujah, tasikmalaya)
76. Eyang Entjim (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
77. Eyang Dempul Wulung (Djaga Baya Ciamis)
78. Eyang Dempul Walang (Djaga Baya Ciamis)
79. Eyang Giwangkara (Djaga Baya Ciamis)
80. Embah Wali Hasan (Tjikarang Bandrek, Lewo Garut)
81. Embah Raden Widjaya Kusumah (Tjiawi Sumedang)
82. Dalem Surya Atmaja (Sumedang)
83. Eyang Rangga Wiranata (Sumedang)
84. Eyang Mundinglaya Dikusumah (Sangkan Djaya, Sumedang)
85. Eyang Hadji Tjampaka (Tjikandang, Tjadas Ngampar Sumedang)
86. Eyang Pangtjalikan (Gunung Ringgeung Garut)
87. Eyang Singa Perbangsa (Karawang)
88. Embah Djaga Laut (Pangandaran)
89. Raden Ula-ula Djaya (Gunung Ringgeung Garut)
90. Raden Balung Tunggal (Sangkan Djaya, Sumedang)
Kerajaan Sumedang Larang :
1. Pangeran Santri (Kusumahdinata I)
2. Prabu Geusan Ulun (Kusumahdinata II)
3. Pangeran Rangga Geumpol I (Kusumahdinata III)
4. Pangeran Rangga Gede (Kusumahdinata IV)
5. Pangeran Rangga Geumpol II (Kusumahdinata V)
6. Pangeran Rangga Geumpol III (Kusumahdinata VI)
7. Tumenggung Tanumaja
8. Pangeran Karuhun (Kusumah dinata VII)
9. Daleum Istri Radjaningrat
10. Daleum Anom (Kusumahdinata VIII)
11. Adipati Surianagara
12. Daleum Panungtung (Adipati Surialaga)
13. Daleum Tanubaya (Taschen Bestur)
14. Wedana Regent (Daleum Aria Satjaoati)
15. Pangeran Kornel (Kusumahdinata IX)
16. Daleum Agung (Adipati Kusumahyuda
17. Daleum Alit (Kusumahdinata X)
18. Daleum Suryadilaga
19. Pangeran Sugih (Suriakusumah Adinata I)
20. Pangeran Mekah (Surya Atmaja)
21. Daleum Bintang (Aria Kusumahdilaga)
22. Daleum Aria
• Sanghiyang Borosngora (sanes Borosanom) nu oge dikenal Sanghiyang Jampang. Manggung (di Jampangkulon Sukabumi)
• Eyang Prabu Hariang Kuning (Kampung Kapunduhan-Panjalu)
• Bongbang Kancana sareng Bongbang Rarang (Garahang-Panjalu).
Lengkepna karuhun Panjalu nu aya catetan di simkuring.
Batara Babarbuana / Ratu Galuring Sajagat (Gunung Bitung-Panjalu), puputra:
• Ratu Sanghiyang Permanadewi (Panjalu)
• Sanghiyang Ratupunggung SangRumahiyang (Talaga)
• Sanghiyang Bleg Tambleg Raja Gumilang (Kuningan)
Prabu Sanghiyang Tisnajati / Batara Layah (Karantenan-Gunung Sawal Panjalu), gaduh putra :
Sanghiyang Ajiputih / Karimunputih / Sajatiputih / Ranggasakti (Karantenan-Gunung Sawal Panjalu), gaduh putra :
• Sanghiyang Ranggagumilang / Ranggawulung (Karantenan-Gunung Sawal Panjalu)
• Ratu Sanghiyang Permana Dewi nikah ka Prabu Sanghiyang gaduh putra:
Prabu Sanghiyang Lembu Sampulur I (Panjalu luhur Gunung Tilu-Panjalu). Sanghiyang Lembu Sampulur I gaduh putra:
Prabu Sanghiyang Tjakradewa (Cipanjalu-Bahara, Panjalu), gaduh putra 6 :
• Prabu Sanghiyang Lembu Sampulur II nu teras ngababakan nyieun nagara di Gunung Tampomas (Sumedang)
• Prabu Sanghiyang Borosngora / Sanghiyang Jampangmanggung (Sampang-Sukabumi),
• Sanghiyang Panjibarani (Dayeuh Luhur-Panjalu)
• Sanghiyang Anggarunting (patilasan - teu acan kapaluruh)
• Sanghiyang Mamprang Artas Wayang (patilasan - teu acan kapaluruh)
• Ratu Pundut Agung dipigarwa ku Prabu Siliwangi (duka tah prabu Siliwangi nu mana)
Sanghiyang Borosngora gaduh putra dua :
• Prabu Sancangkuning / Hariyang Kuning (kampung Kapunduhan-Panjalu)
• Prabu Hariyang Kancana (Nusa Gede Situ Lengkong, Panjalu). Prabu Hariyang Kancana gaduh putra dua :
• Sembah Dalem Ageung / Sembah Agung (Cibeunnying-Panjalu)
• Prabu Hariyang Kuluk Kukunang Teko / Haiyang Kancana Anom (Cilanglung, Kp. Simpar-Panjalu). Prabu Hariyang Kuluk Kukunang Teko/Kancana Anom gaduh putra :
Prabu Hariyang Kanjut Kadali Kancana (Sarumpun Hujungtiwu-Panjalu), gaduh putra:
Hariyang Kada Gayut Martabaya (Hujungwinangun-Panjalu), gaduh putra:
Hariyang Kuning Natabaya (Buninagara, Simpar Panjalu) nu migarwa Eyang N.R Apun Emas (putri Ratu Puni Anjung ti karajaan Kawali), puputra tilu :
• Sembah Dalem Natabaya (Buninagara, Simpar-Panjalu)
• Sembah Dalem Aria Sacanata / Gandakerta / Aria Salingsingan (Desa Bengkong Dayeuhluhur Panjalu)
• Sembah Delem Dipanata (Hujungwiangun, Panjalu)
Sembah Dalem Sumalah Natabaya migarwa Ratu Tilarnagara (putri Sunan Ciburuy Talaga Pangeran Surawijaya) gaduh putra dua:
• Sembah Dalem Wirabaya (Ciramping, Simpar-Panjalu),
• Ratu Brangsakti dipigarwa ku Pangeran Wargadipraja.
Sembah Dalem Aria Sacanata migarwa Ratu Tilarnagara (turun ranjang ti rakana nu pupus) gaduh putra sawelas:
• R. Jiwakrama
• R. Ngabeni Suryamanggala / Sacamanggala
• R. Wiralaksana
• R. Jayawicitra
• Dalem Singalaksana
• Dalem Jiwanagara
• Dalem Wiradipa
• N.R Lenggang Cianjur
• N,R Tilar Cianjur
• N.R. Sari Sukabumi
• Dalem Yuda Serdawa Cianjur.
Sembah dalem Dipanagara gaduh putra :
• Dalem Dipati Aria Sawarga / Dalem Argakusumah ngajabat Bupati Pager Ageung (patilasan di Cisoma-Guranteng).
Tah salajengna mah mancakaki di catetan turunanana sewang-sewangan.
Tawassullan Karuhun Tatar PAsundan
1. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Tuan Syech Abdul Khodir Jaelany dari Bagdad Al Fatihah
2. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Gusti Prabu Siliwangi (Rd.Mandur Kencana H.Sepuh Raja Jawa) Al Fatihah
3. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Prabu Kian Santang (Pangeran Cakra Buwana Sancang Garut Putra Eyang Parbu
Siliwangi Raja Walang Sungsang) Al Fatihah
4. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rara Santang Syarifah Bagdad (Putri Eyang Parbu Siliwangi) Al Fatihah
5. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Kangjeng Pangeran Syarif Hidayatullah Bin Sa’id Abdullah (Cucu Eyang Prabu Siliwangi) Alfatihah
6. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Ibu Pakung Wati Istri Syech Syarif Hidayatullah (adik Sunan KaliJaga Jaka Sa’id) Al Fatihah
7. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Panembahan Kyai Kuwu Sangkan Eyang Tunggal Bango Dua Cirebon Al Fatihah
8. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Syech Magelung Rd.Surya Negara Rama Buyut Lemah Tamba Cirebon Al Fatihah
9. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Abdul Khahfi Cirebon Al Fatihah
10. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Kyai Panjunan Cirebon Al Fatihah
11. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Ibu Ratu Gandasari Arya Winangun Cirebon Putri Embah Kuwu Sangkan Al Fatihah
12. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Dalem Perkosa Bin Batara Kusumah Di Dayeuh Luhur Al Fatihah
13. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Taji Malela Di Dayeuh Luhur Al Fatihah
14. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd.Dalem Wangsa Goparana Talaga Di Sagala Herang Al Fatihah
15. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Mama Syech Abdul Muhyi Waliyulloh Bin Warta Kusuma Pamijahan Tasik Malaya
16. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd. Dalem Pangeran Papak Wijaya Rana Cinunut Garut Al Fatihah
17. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Gusti Adipati Ukur Bandung Abdi Mataram Abdi Mataram Al Fatihah
18. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Ki Buyut Mangun Tapa Karawang Al Fatihah
19. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Ibu Subang Larang Syarifah Mudaim Al Fatihah
20. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd. Pangeran Jayakarta Bin Tubagus Angke Jatinegara Kaum Al Fatihah
21. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd.Pangeran Wijaya Kusumah Batavia Sunda Kelapa Jakarta Al Fatihah
22. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Syech Sultan Hassanudin Banten Putra Mahkota I Sunan Gunung Jati Al Fatihah
23. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Syech Maulana Yusuf Putra Sultan Hassanudin Al Fatihah
24. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Syech Sultan Agung Tirtayasa Putra Syech Maulana Yusuf Al Fatihah
25. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Kyai Tubagus Kurayid Gunung Kencana Al Fatihah
26. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd. Dalem Surya Kencana Cileungsi Bogor Al Fatihah
27. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Haji Guna Wijaya Batu Keraton Ciburial Bogor Al Fatihah
28. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Dipa Maha Warman Sanghyang Tapak Batu Tulis Bogor Al Fatihah
29. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Dalem Jaya Sampurna Sampora Bogor Al Fatihah
30. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Dalem Jaya Sakti Bogor Al Fatihah
31. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Waruga Jagat Gunung Kapur Al Fatihah
32. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd.Pangeran Sukma Sejati Cilacap Al Fatihah
33. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Kyai Singaparna Ulama Ageung Tasik Malaya Al Fatihah
34. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Ambu Mayang Kencana Padalarang Al Fatihah
35. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Mama Kyai Ramli Padalarang Al Fatihah
36. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Embah Buyut Bencoy Maleber Cilamaya Al Fatihah
37. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Embah Tubagus Jabin Cikampek Al Fatihah
38. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Embah Buyut Jago Jonggol Al Fatihah
39. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Embah Buyut Jengkol Patuah Tupuk Cijengkol Tambun Al Fatihah
40. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Embah Buyut Khaer Cimande Gunung Salak Bogor Pencipta Cimande Al Fatihah
41. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Pangeran Sangga Buwana Loji Karawang Al Al Fatihah
42. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Pangeran Suci Manah Wanayasa Purwakarta Al Fatihah
43. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Syech Kuro (Lemah Abang) Wadas Karawang Al Fatihah
CMIIW.....
Saya bukan ahli sejarah... cuma ahli copas aja....
salim....
Kita semua, tentu sudah mengetahui peninggalan purbakala yang terletak di Astana Gede Kawali. Ada pendapat mengatakan bahwa Astana Gede Kawali pada jaman dahulu merupakan tempat pemujaan atau disebut juga Bale Kabuyutan. Hal ini mungkin dapat kita lihat dari adanya tinggalan budaya seperti menhir, lingga dan yoni. Di samping itu terdapat pula beberapa pepatah dan petunjuk.
Sebagai pusat pemerintahan, raja-raja yang pernah bertahta di tempat ini adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa, yang dikenal dengan sebutan sang lumah ing kiding, kemudian Prabu Ragamulya atau aki kolot, setelah itu Prabu Linggabuwana yang gugur pada peristiwa bubat, Rahyang Niskala Wastukancana yang meninggalkan beberapa prasasti di Astana Gede, dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Wastukancana.
Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada di sebelah utara atau 27 km dari ibukota Kabupaten Ciamis, yakni di Dusun Indrayasa Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis. Apabila ditempuh dengan kendaraan motor ataupun mobil lamanya sekitar (45) empat puluh lima menit. Keadaan jalan cukup baik karena sudah mengalami pengaspalan, sehingga tidak sulit dijangkau.
Luas area lokasi peninggalan purbakala ini adalah 5 Ha, disekelilingnya rimbun dengan pepohonan. Keadaan alamnya cukup nyaman dan sejuk sehingga memberi kesan menyenangkan kepada setiap pengunjung.
Letaknya berada di kaki Gunung Sawal disebelah selatannya sungai Cibulan, yang mengalir dari barat ke timur, di sebelah timur berupa parit kecil dari sungai Cimuntur yang mengalir dari Utara ke Selatan, sebelah Utara Sungai Cikadondong dan sebelah Barat Sungai Cigarunggang. Keadaan lingkungan situs ini merupakan hutan lindung yang ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan tanaman keras diantaranya termasuk familia Meliceae, Lacocarpaceae, Euphorbiaceae, Sapidanceae dan lain-lain, juga tanaman Palawija, Rotan, Salak, Padi, Cengkih dan lain-lain.
Menurut temuan arkeologi, bila dilihat dari tinggalan budaya yang ada di kawasan Astana Gede Kawali merupakan kawasan campuran, yaitu berasal dari periode prasejarah, klasik dan periode Islam
Bentuk transformasi budaya yang terjadi diperkirakan mulai dari tradisi megalitik yang ditandai dengan adanya temuan punden berundak, lumpang batu, menhir, kemudian berlanjut secara berangsur-angsur ke tradisi budaya sejarah (klasik) yang ditandai dengan adanya prasasti, kemudian berlanjut ke tradisi Islam yang ditandai dengan adanya makam kuna. Dengan demikian kawasan Astana Gede merupakan kawasan yang menarik untuk dikunjungi.
Benda-benda Cagar Budaya yang ada di Astana Gede Kawali itu terdiri atas, punden berundak, menhir, prasasti, makam kuna, dan lain-lain. Juga mata air Cikawali yang tidak pernah kering sepanjang tahun.
Benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala sebagai warisan budaya ini memiliki peran yang penting dan berfungsi sebagai, bukti-bukti sejarah dan budaya, sumber-sumber sejarah dan budaya, obyek ilmu pengetahuan sejarah dan budaya, cermin sejarah dan budaya, media untuk pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya, media pendidikan budaya bangsa sepanjang masa, media untuk memupukan kepribadian bangsa di bidang kebudayaan dan ketahanan nasional, dan sebagai obyek wisata budaya.
CIUNG WANARA
Bojong Galuh Karangkamulyan adalah sebuah nama yang cukup akrab untuk masyarakat yang ada di Kabupaten Ciamis. Dikatakan akrab karena nama ini merupakan sebuah kawasan yang berupa hutan lindung yang mengandung berbagai kisah yang berhubungan dengan kerajaan pada jaman dahulu. Masyarakat menganggap bahwa kawasan ini merupakan peninggalan pada masa Kerajaan Galuh yang diperintah oleh Permanadikusumah dan putranya yang bernama Ciung Wanara. Dengan demikian muncullah sebuah cerita rakyat yang telah turun temurun sejak dahulu yaitu cerita tentang ihwal Kerajaan Galuh yang diperintah oleh Permanadikusumah serta penerusny yaitu Ciung Wanara, yang dibumbui dengan hal yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki orang biasa. Hal ini dimaksudkan hanyalah untuk mengagungkan seorang raja yang mungkin dalam visi mereka raja adalah segala-galanya, istimewa dan terlepas dari segala kekurangan yang menjadikannya berpredikat sebagai raja.
Bila kita telusuri lebih jauh kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah seperti batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda, berada dalam sebuah tempat berupa struktrur bangunan terbuat dari tumpukan batu yang bentunya hampir sama. Struktur bangunan itu memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.
Batu-batu yang ada dalam struktur bangunan itu memiliki nama dan kisah, begitu pula beberapa lokasi lain yang terdapat didalamnya yang berada diluar struktur batu. Nama batu merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah/cerita rakyat tentang Kerajaan Galuh seperti; pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, dikatakan lambang peribadatan mungkin karena bentuknya menyerupai sebuah stupa, panyandaan atau tempat melahirkan, berupa batu yang berdiri tegak lurus serta memanjang sehingga menyerupai tempat duduk yang ada sandarannya, pengaduan ayam yang merupakan sebuah lokasi yang berupa dataran yang dikelilingi struktur bangunan, Sanghyang bedil, juga merupakan sebuah tempat yang dikelilingi oleh struktur bangunan, kemudian sebuah mata air yang di sebut Cikahuripan yang letaknya di sebelah dalam kawasan hutan lindung yang dikelilingi oleh rimbunnya pepohonan.
Masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa tempat ini mengandung keramat, mereka masih berpegang pada mitos yang cukup kuat tentang Ciung Wanara dan Permanadikusumah, sehingga banyak orang datang ke tempat ini dengan tujuan untuk mencari berkah.
Adanya cerita rakyat yang dihubungkan dengan benda-benda yang ada di kawasan Bojong Galuh Karangkamulyan ini telah membudaya di Kabupaten Ciamis, hampir semua orang mengetahui kisah Ciung Wanara serta batu-batu yang telah diberi nama itu merupakan tempat kegiatan pada masa Kerajaan Galuh, sehingga apabila kita bertanya kepada masyarakat mengenai tempat ini tanpa ragu-ragu mereka akan menjawab bahwa tempat ini merupakan peninggalan pada masa Kerajaan Galuh.
Keberadaan tempat ini dapat kita lihat dari tiga sudut pandang bila dihubungkan dengan kedudukannya dengan waktu sekarang ini. Pertama dari sudut pandang sejarah, kedua cerita rakyat, ketiga sebagai obyek wisata.
Bila kita tinjau dari sudut pandang sejarah, memang kita tidak bisa menolak bahwa Kerajaan Galuh itu pernah ada serta nama yang disebutkan seperti tokoh Permanadikusumah dan Ciung Wanara itu adalah seorang raja yang memerintah pada masa Kerajaan Galuh sekitar abad ke-8 Masehi. Begitu pula mengenai tempat, hal ini mungkin saja terjadi bahwa tempat ini merupakan bekas Kerajaan Galuh, seperti Lakbok juga daerah Cibeureum yang ada di Tasikmalaya, hal ini mungkin saja terjadi karena kerajaan pada jaman dahulu sering berpindah-pindah.
Sudut pandang kedua adalah cerita rakyat yang telah lama turun temurun. Hal ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat di Kabupaten Ciamis sebagai kekayaan budaya yang keberadaannya tidak terlepas dari berbagai mitos yang dihubungkan dengan yang sekarang ini disebut sebagai situs yaitu tempat yang diduga mengandung sejarah.
Sudut pandang ketiga adalah kedudukan situs Bojong Galuh Karangkamulyan ini adalah sebagai obyek wisata, sesuai dengan sebutan sebagai obyek wisata, tempat ini banyak dikunjungi sebagai tempat rekreasi yang menyenangkan, karena tempatnya sejuk dan nyaman serta letaknya sangat strategis, yaitu berada di jalur jalan raya yang menghubungkan Ciamis dengan Banjar. Disamping itu, tempat ini dilewati oleh kendaraan menuju tempat yang lebih jauh lagi seperti Jawa Tengah, karena merupakan jalan protokol. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada penjelasan selanjutnya yang akan diuraikan di muka.
Kerajaan Galuh dalam Sejarah
Kerajaan Galuh pertama kali didirikan oleh Wrettikandayun pada abad ke-6 Masehi, akan tetapi belum ada keterangan yang pasti mengenai letak Kerajaan Galuh tersebut, namun ada beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa Kerajaan Galuh berpusat di Cibeureum, yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya tepatnya di Desa Cibeureum Kecamatan Manonjaya. Sementara itu pendapat lain mengemukakan pula bahwa pusat Kerajaan Galuh terletak di Desa Citapen Kecamatan Rajadesa Kabupeten Ciamis. Ditempat ini ditemukan sebuah peninggalan purbakala berupa dinding batu yang cukup tinggi berada di sebuah tebing di pinggir kali sungai Cijolang. Pada dinding batu tersebut terdapat beberapa catatan berupa garis-garis berupa sebuah sandi, namun sampai saat ini belum diketahui apa maksud coretan tersebut. Ada lagi pendapat yang mengemukakan bahwa Kerajaan Galuh berpusat di Purbaratu, kemudian di Lakbok dan Karangkamulyan, yang kesemuanya memiliki peninggalan purbakala.
Wrettikandayun gemar menimba ilmu pengetahuan, ia diwarisi kitab yang disebut Sanghiang Watangageung oleh ayahnya. Kemudian ia bersama ayahnya yakni Kandiawan dan dua orang adiknya yang bernama Sandang Gerba dan Katungmaralah, membuat sebuah kitab yang diberi nama Sanghiang Sasanakerta.
Pada masa Wrettikandayun, Kerajaan Galuh berbatasan dengan Kerajaan Sunda di Citarum. Setelah 90 tahun memerintah, Wrettikandayun mengundurkan diri dari jabatannya kemudian ia menjadi Raja Resi di Mendala Menir, oleh sebab itu ia mendapat julukan Rahiangtarimenir.
Setelah Wrettikandayun wafat, tahta kerajaan tidak diteruskan oleh putra sulungnya karena putra sulung tersebut memiliki cacat tubuh yaitu giginya tanggal, oleh karena itu maka dinamai Sempak Waja. Disamping memiliki cacat tubuh, Sempakjaya memiliki wajah yang kurang bagus, kemudian ia di jodohkan dengan Pwah Rababu yang berasal dari daerah Kendan. Dalam perkawinannya pun Sempak Waja memiliki cacat, atau tidak memiliki jalan mulus, sebab terjadi peristiwa yang memalukan yakni, adanya hubungan gelap antara istrinya dengan adiknya sendiri yang bernama Mandiminyak. Hubungan gelap itu bermula dari adanya acara perjamuan makan di Galuh yang di sebut utsawakarma.
Putra kedua Wrettikandayun yang bernama Jantaka, juga tidak memenuhi syarat untuk menjadi raja, sebab ia pun memiliki cacat tubuh yaitu kemir. Tidak diperoleh keterangan dengan siapa Jantaka menikah, tetapi ia mempunyai keturunan bernama Bimaraksa atau terkenal dengan sebutan Balangantrang.
Putra ketiga dari Wrettikandayun merupakan orang yang dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan raja, sebab tidak memiliki cacat tubuh. Ia adalah Mandiminyak.
Kerajaan Galuh Pada Masa Mandiminyak
Mandiminyak atau disebut juga Amara, memerintah di Galuh dari tahun 702 – 709 masehi. Ia memerintah dalam usia 78 tahun. Mandiminyak dijodohkan dengan putri Maharani Sima seorang penguasa dari Kalingga. Dari perkawinannya dengan Dewi Parwati, Mandiminyak dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama putri Sannaha. Dengan demikian Mandiminyak telah mempunyai dua orang anak. Anak pertama bernama Bratsenawa sebagai hasil hubungan gelap dengan Pwah Rababu yang telah diperistri oleh kakaknya yaitu Sempakjaya.. Kedua kakak beradik yang berbeda ibu tersebut, kemudian dijodohkan karena pada waktu itu adat mereka membolehkannya. Perkawinan itu terkenal dengan sebutan Perkawinan Manu, yaitu menikah dengan saudara sendiri. Mandiminyak bersama istrinya menjadi penguasa Kalingga Utara sejak tahun 674-702 Masehi.
Kerajaan Galuh Pada Masa Bratasenawa
Ranghiangtang Bratasenawa atau Sang Sena memerintah di Kerajaan Galuh dari tahun 709-716 Masehi. Dari perkawinannya dengan Dewi Sannaha ia dikaruniai seorang anak yang diberi nama Sanjaya. Sang Sena terlahir dari hubungan terlarang antara Mandiminyak dan Pwah Rababu, oleh sebab itui kedudukannya di Galuh kurang disukai oleh kalangan pembesar Galuh. Sang Sena pun menyadari kalau kedudukannya kurang disukai karena latar belakang dirinya dari keadaan yang hitam, tetapi ia tetap duduk dalam kekuasaannya.
Pada tahun 716 Masehi terjadilah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Purbasora. Dalam perebutan kekuasaan itu, Purbasora dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang berpihak kepadanya seperti kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh Wirata. Dalam perebutan kekuasaan itu pasukan Galuh terpecah menjadi dua bagian, pertama sebagai pendukung Bratasena dan kedua sebagai pendukung Purbasora. Akan tetapi pasukan yang memihak kepada Bratasena atau Sang Sena tidaklah sekuat pasukan yang memihak kepada Purbasora sehingga pasukan Sang Sena dapat segera dikalahkan.
Kerajaan Galuh Pada Masa Purbasora
Rahyang Purbasora menjadi penguasa di Galuh dari tahun 716-723 Masehi, ia naik tahta dalam usia 74 tahun. Dari perkawinannnya dengan Citra Kirana Putri Padma Hadiwangsa Raja Indraprahasta ke-13, ia dikaruniai anak bernama Wijaya Kusuma yang menjadi Patih di Saung Galah.
Rahiang tidak lama memerintah di Galuh, setelah 7 tahun memegang pemerintahan maka terjadilah perebutan kekuasan, ini dilakukan oleh Sanjaya. Sa njaya adalah anak dari Bratasenawa atau Sang Sena. Penyerbuan dilakukan pada malam hari dengan markasnya di Gunung Sawal. Pada penyerbuan itu ia berhasil membunuh Purbasora serta membunuh seluruh penghuni Keraton Galuh.
Kerajaan Galuh Pada Masa Sanjaya
Sanjaya atau Rakaian Jamri atau disebut juga Harisdharama Bhimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajisatru Yudhapurna Jaya anak dari perkawinan antara Bratasenawa dan Dewi Sannaha. Ia menikah dengan Teja Kancana Hayupurnawangi cucu Prabu Tarusbawa pendiri Kerajaan sunda. Perkawinan kedua dengan putri sudiwara putra dari Narayana atau Prabu Iswara penguasa Kalingga Selatan.
Sanjaya berkuasa di Galuh dari tahun 723-724 Masehi. Setelah merebut Galuh, Sanjaya segera menumpas para pendukung Purbasora ketika merebut kekuasaan dari tangan ayahnya. Setelah melakukan penyerbuan ke Indraprahasta kemudian Sanjaya menyerang Kerajaan Kuningan. Tetapi penyerangan ini mengalami kegagalan sampai akhirnya Sanjaya kembali ke Galuh bersama pasukannya.
Setelah melakukan penyerbuan itu Sanjaya menemui Sempak Waja di Galunggung. Sanjaya meminta agar Galuh dipegang oleh Demunawan adik Purbasora, tetapi Demunawan menolak permintaan itu, hal ini terjadi mungkin karena Demunawan tidak rela kalau Kerajaan Galuh menjadi bawahan Kerajaan Sunda. Dalam menanggapi pihak Galunggung, Sanjaya tidak berani bersikap keras, karena ia telah mendapat tekanan keras dari ayahnya sendiri, Sang Sena, yang telah berkali-kali mengingatkan agar Sanjaya tetap bersikap hormat kepada Sempak Waja dan Demunawan.
Ketika Sanjaya telah berhasil menundukkan raja-raja di pulau Jawa Swarna bumi dan Cina, ia kembali ke Galuh untuk mengadakan perundingan. Perundingan itu dihadiri oleh Sanjaya, Demunawan, Sang Iswara dan para pembesar kerajaan serta para pembesar kerajaan serta Duta Prabu Sena dan para Duta dari Swarna Bumi. Pada saat itu Sempak Waja telah meninggal dunia. Hasil perundingan itu meneapkan bahwa:
Keterangan I :
1. Negara Sunda wilayah sebelah Barat Citarum diserahkan kepada keturunan Prabu Tarusbawa.
2. Galuh Pakuan dan Saung Galah diserahkan kepada Sri Demunawan.
3. Medang di Bumi Mataram diserahkan kepada Sanjaya.
4. Jawa timur diserahkan kepada Prabu Iswara.
Keterangan II :
1. Sanjaya akan memerintah di pulau Jawa meneruskan pemerintahan kedua orang tuanya.
2. Galuh dan Sunda diserahkan kepada Tamperan.
3. Daerah kekuasaan Dangiang Guru Sempak Waja diserahkan kepada Saung Galah dibawah kekuasaan Resi Demunawan.
4. Daerah sebelah Timur Paralor dan cilotiran menjadi daerah kekuasaan Iswara Narayana adik Parwati Putra Maharani Sima.
Dengan demikian maka pulau jawa terbagi atas empat bagian pemerintahan. Sanjaya yang disebut juga Rakaian Jamri sekaligus menjadi penguasa kerajaan Galuh, Sunda, dan Kalingga, menyadari bahwa kedudukannya sebagai penguasa di Galuh tidak disukai oleh orang-orang Galuh, oleh sebab itu dicari figur yang cocok untuk dijadikan penguasa di Galuh. Akhirnya Sanjaya menemukan figur yang dianggapnya cocok untuk memerintah di Galuh yaitu Adimulya Permanadikusuma Cucu dari Purbasora.
Kerajaan Galuh Pada Masa Adimulya Permanadikusuma
Nama Adimulya Permanadikusuma atau disebut juga Bagawat Sajala-jala atau Ajar sukaresi, telah dikenal cukup akrab di telinga masyarakat yang ada di Kabupaten Ciamis terutama yang tinggal di daerah Bojong Galuh Karangkamulyan sekarang ini, karena tempat ini diduga sebagai bekas peninggalan Kerajaan Galuh pada masa pemerintahan Adimulya Permanadikusuma. Menurut sejarahnya, Adimulya Permanadikusumah adalah putra Wijaya Kusuma yang menjadi patih di Saung Galah (Kuningan), ketika Demunawan memegang pemerintahan.
Ratu Adimulya Permanadilusuma lahir pada tahun 683 Masehi. Ia seumur dengan Sanjaya putra Bratasena. Sanjaya mengangkat Adimulya Permanadikusuma menjadi raja di Galuh dengan maksud untuk menghilangkan ketidaksimpatian para tokoh Galuh terhadap dirinya terutama keturunan Batara Sempak Waja dan Resi guru Jantaka..
Untuk memperkuat kedudukannya, Sanjaya membuat suatu strategi dengan cara menjodohkan Adimulya Permanadikusuma dengan putri Patih Anggada dari Kerajaan Sunda bernama Pangrenyep, masih saudara sepupu istri Sanjaya. Saat anak pertamanya yang bernama Ciung Wanara baru berumur lima tahun, ia melakukan tapa, karena merasa bingung dalam memerintah sebab Kerajaan Galuh harus tunduk kepada Kerajaan Sunda.
Pada waktu Adimulya Permanadikusuma bertapa, pemerintahan di Galuh sementara dipegang oleh Tamperan yang jabatannya sebagai patih galuh. Akan tetapi Tamperan berbuat tidak baik, ia menghianati Prabu Adimulya Permanadikusuma, dengan cara berbuat skandal/tidak senonoh dengan Pangrenyep, yang menjadi istri kedua Prabu Adimulya Permanadikusuma. Hubungan Tamperan dan Pangrenyep semakin hari semakin akrab, sampai akhirnya dari hubungan gelap itulah lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Rahiang Banga atau disebut juga Kamarasa. Tamperan membuat siasat licik dengan cara menyuruh orang untuk membunuh Prabu Adimulya Permanadikusumah yang sedang bertapa di Gunung Padang. Maka terbunuhlah Prabu Adimulya Permanadikusuma oleh orang suruhan Tamperan.
Kerajaan Galuh Pada Masa Tamperan
Tamperan menikah dengan Pangrenyep ketika sedang mengandung sembilan bulan. Namun tidak lama kemudian, ia menikahi Naganingrum yang statusnya sebagai istri kedua.
Sementara itu Ciung Wanara, putra dari Prabu Adimulya Permanadikusuma dan Dewi Naganingrum setelah ibunya menikah kembali, ia melarikan diri ke Geger Sunten untuk menemui Balangantrang. Ia menetap di Geger Sunten sampai usianya dewasa. Ciung Wanara mengetahui rahasia negara, karena diberitahu oleh Balangantrang. Ia dipersiapkan oleh Balangantrang untuk merebut kembali Kerajaan Galuh yang menjadi haknya dan menuntut balas pati atas kematian ayahnya.
Ketika Ciung Wanara berusia 22 tahun, tepatnya tahun 739 Masehi, Ciung Wanara bersama pasukannya dari Geger Sunten, ditambah dengan pasukan yang masih setia kepada Prabu Adimulya Permanadikusuma, menyerang kerajaan Galuh. Penyerangan itu dilakukan ketika sedang berlangsung pesta penyabungan ayam. Ketika itu Ciung Wanara ikut serta menyabungkan ayamnya.
Dalam penyerangan itu Tamperan dan Pangrenyep berhasil ditangkap, akan tetapi Banga yang pada waktu itu dibiarkan, berhasil meloloskan kedua orang tuanya sehingga kedua tawanan itu melarikan diri. Pelarian itu menuju ke arah Barat. Ciung Wanara sangat gusar ketika mendengar tawanannya melarikan diri. Kemudian ia menyerang Rahyang Banga, maka terjadilah perkelahian di antara keduanya. Sementara itu pasukan pengejar kedua tawanan takut kemalaman , dan takut kehilangan buruannya, kemudian mereka menghujani hutan dengan Panah. Panah-panah mereka akhirnya menewaskan Tamperan dan Pangrenyep. Berita binasanya Temperan dan Pangrenyep, akhirnya sampai kepada Sanjaya, maka sanjaya mambawa pasukan yang sangat besar, akan tetapi hal ini telah diperhitungkan oleh Balangantrang. Melihat sengitnya pertempuran itu, akhirnya tokoh tua Demunawan turun tangan dan berhasil melerai pertempuran itu. Kemudian kedua belah pihak diajaknya berunding. Dari perundingan itu, dicapai kesepakatan bahwa wilayah bekas Tamperan dibagi menjadi dua yaitu, kerajaan Sunda di serahkan kepada Rahyang Banga, sedangkan Kerajaan Galuh diserahkan kepada Ciung Wanara atau Manarah.
Kerajaan Galuh Pada Masa Ciung Wanara
Sang Manarah yang disebut juga Ciung Wanara atau Prabu Suratama Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memeritah di Galuh dari tahun 739-783 Masehi. Ciung Wanara dijodohkan dengan cicit Demunawan yang bernama Kancana Wangi. Dari perkawinan ini dikaruniai anak bernama purbasari yang kelak menikah dengan Sang Manistri atau Lutung Kasarung.
Ciung Wanara memerintah selama kurang lebih 44 tahun, dengan wilayah pemerintahannya antara daerah Banyumas sampai ke Citarum, setelah cukup lama memerintah, Ciung Wanara mengundurkan diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung, suami dari Purbasari.
Pada tahun 783, Manarah melakukan manurajasuniya yakni mengakhiri hidupnya dengan bertapa.
Kisah Prabu Adimulya dan Ciung Wanara atau Sang Manarah serta tempat yang disebut Bojong Galuh Karangkamulyan yang sekarang terletak di Kecamatan Cijeungjing, telah menjadi penuturan yang turun temurun serta tidak asing lagi bagi masyarakat yang berada di Kabupaten Ciamis yang dulunya bernama Kabupaten Galuh.
SITU LENGKONG
Kisah Terjadinya Situ Lengkong
Menurut sejarah Panjalu, Situ Lengkong bukanlah situ alam yang terjadi dengan sendirinya, akan tetapi hasil buatan para leluhur Panjalu. Dimana dahulu kala sejak lebih kurang abad ke tujuh masehi (menurut catatan kebudayaan abad ke 15) di Panjalu telah ada Kerajaan Hindu yang bernama kerajaan Panjalu.
Awal abad ke tujuh, Raja yang memerintah ialah Prabu Syang Hyang Cakradewa. Raja mempunyai keinginan agar putra mahkota sebagai calon pengganti raja haruslah memiliki terlebih dahulu ilmu yang paling ampuh dan paling sempurna. Berangkatlah sang mahkota “Borosngora” lama sekali, tetapi tidak seorangpun diantara Wiku, para Resi dan para Pertapa yang sanggup menggugurkan ilmu tersebut. Akhirnya putera mahkota sampailah di Tanah Suci Mekah. Disanalah tujuan tercapai, yaitu mempelajari dan memperdalam Agama Islam (Dua Kalimah Syahadat).
Setelah cukup lama, maka pulanglah sang putera mahkota ke negara Panjalu dengan dibekali Air Zamzam, pakaian kesultanan serta perlengkapan Pedang dan Cis dengan tugas harus menjadi Raja Islam dan sekaligus mengislamkan rakyatnya. Kemudian beliau menjadi Raja Panjalu menggantikan ayahandanya dengan gelar Syang Hyang Borosngora.
Mulai saat itulah Kerajaan Panjalu berubah dari Kerajaan Hindu menjadi Kerajaan Islam. Air Zamzam yang dari Mekah ditumpahkan ke sebuah lembah yang bernama Lebah Pasir Jambu, kemudian lembah itu airnya bertambah banyak dan terjadilah Danau yang kini disebut Situ Lengkong.
Pedang, Cis dan Pakaian Kesultanan disimpan di Museum Bumi Alit yang waktu itu merupakan Museum Kerajaan. Istana Kerajaan dipindahkan dari Pasir Dayeuh Luhur ke Nusa Gede Panjalu, sehingga dengan demikian air Situ Lengkong merupakan benteng pertahanan Keraton.
Situ Lengkong atau disebut juga Situ Panjalu merupakan salah satu sisa-sisa peninggalan raja-raja Panjalu yang sekarang masih ada. Benda-benda peninggalan yang masih ada berupa dolmen, lingga, dan batu bekas singgasana/bertapa raja.
Bumi Alit, Situ Lengkong dan upacara nyangku merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah pada waktu Agama Islam masuk ke Kerajaan Panjalu yang merupakan awal terjadinya perkembangan sejarah baru.
Selanjutnya diceritakan pula bahwa Prabu Boros Ngora memindahkan keraton yang semula terletak di daerah Dayeuh Luhur ke Nusa Gede yang terletak ditengah- tengah Situ Lengkong. Selain keraton, ia juga memindahkan kepatihan yang disebut Hujung Winangun ke sebelah Barat Nusa Gede dan membuat taman serta kebun dan tempat rekrerasi di Nusa Pakel. Untuk memudahkan komunikasi, maka dibuat dua pintu gerbang untuk memasuki Keraton Nusa Gede, pintu gerbang yang pertama dibuat dari ukiran dan dijaga oleh Gulang-gulang yang berjenggot yang bernama Apun Obek. Sedangkan pintu gerbang yang ke dua merupakan jembatan yang menghubungkan Nusa Gede dengan daratan, letaknya di sebelah Barat yang dikenal dengan nama Cukang Padung (Jembatan dari balok-balok kayu) maka sekarang daerah-daerah tersebut dinamakan Dusun Cukang Padung.
Setelah Prabu Boros Ngora pindah ke Jampang maka kekuasaan Kerajaan Panjalu diserahkan kepada anaknya Raden Hariang Kuning dan selanjutnya diberikan kepada adiknya yang bernama Raden Hariang Kencana (Embah Panjalu yang dimakamkan di Situ Lengkong, yang menurunkan raja-raja Panjalu selanjutnya.
Data Teknis Situ Lengkong Panjalu
Luas Situ Lengkong adalah 57,95 Ha dan Nusa Gede 9,25 Ha. Jadi luas seluruhnya adalah 67,2 Ha dengan kedalaman air 4 m – 6 m. Situ ini berdiri di atas ketinggian 731 meter di atas permukaan laut.
Nusa Gede
Ditengah Situ Lengkong teerdapat pulau yang diberi nama Nusa Gede yang luasnya 9,25 Ha yang dulunya menurut cerita sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu, sehingga situ merupakan benteng pertahanan dan untuk mencapai tempat itu harus melalui jembatan yang di dalam babad Panjalu disebut Cukang Padung.
Sekarang Nusa Gede menjadi hutan lindung di bawah pengawasan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang didalamnya terdapat cagar budaya dibawah lindungan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang berkedudukan di Serang, luasnya kurang lebih 0,5 Ha dimana terdapat makam penyebar Islam yang disebut Mbah Panjalu, yang menurut Gus Dur adalah Sayid Ali Bin Muhamad bin Umar yang datang dari Pasai (Aceh/Sumatra). Sedangkan buku Babad Panjalu di sebut Haring Kencana Putra Borosngora dan menurut pakar sejarah Profesor DR Ayat Rohaedi adalah Wastu Kencana Raja Sunda Galuh yang berkedudukan di Kawali. Di dalam hutan terdapat 307 pohon yang terdiri dari 30 jenis.
Acara Nyangku
Asal-usul Upacara Adat Sakral Nyangku
Dalam upacara sakral Nyangku, Museum Bumi Alit dan Situ Lengkong, satu sama lain saling berhubungan. Ketiga-tiganya merupakan tonggak sejarah terjadinya pergeseran keadaan sejarah Panjalu Lama ke Panjalu Baru.
Upacara adat sakral Nyangku juga merupakan peninggalan raja-raja Panjalu yang sekarang masih ada
Upacara adat sakral Nyangku pada jaman dahulu merupakan suatu misi yang agung, yaitu salah satu cara untuk menyebarkan agama Islam agar rakyat Panjalu memeluk agama Islam. Upacara adat sakral Nyangku biasanya dilaksanakan setiap tahun satu kali yaitu pada bulan Robiul Awal (Maulud) pada minggu terakhir hari Senin dan Jum’at.
Istilah Nyangku berasal dari bahasa Arab yaitu “Yanko”, yang artinya membersihkan. Karena salah mengucapkan orang Sunda maka menjadi “Nyangku”. Upacara adat sakral Nyangku adalah upacara membersihkan benda-benda pusaka peninggalan para leluhur Panjalu.
Tujuan dari upacara adat sakral Nyangku adalah untuk merawat benda-benda pusaka supaya awet dengan tata cara tersendiri sebagai tradisi atau adat. Namun hakikat dari upacara adat sakral Nyangku adalah membersihkan dari segala sesuatu yang dilarang oleh agama. Selain merawat benda-benda pusaka upacara adat sakral Nyangku juga bertujuan untuk memperingati maulud Nabi Muhammad SAW dan mempererat tali persaudaraan keturunan Panjalu.
Pelaksanaan Upacara Adat Sakral Nyangku
Penyelenggaraan upacara adat sakral nyangku dilaksananak oleh para sesepuh Panjalu, unsur pemerintah desa, instansi-instansi yang terkait, LKMD, tokoh masyarakat, dan para Kuncen. Jalannya upacara adat sakral Nyangku dikoordinir oleh Yayasan Noros Ngora dan desa.
Sebagai persiapan upacara adat sakral Nyangku, semua keluarga keturunan Panjalu menjelang maulud Nabi Muhammad Saw biasanya jaman dulu suka menyediakan beras sebagai bahan sesajen untuk membuat tumpeng. Beras tersebut harus dikupas dengan tangan dari tanggal satu Maulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan upacara Nyangku. Selanjutnya para warga keturunan Panjalu mengunjungi makan raja-raja Panjalu untuk berziarah dan memberitahukan upacara kepada kuncen-kuncen para leluhur Panjalu.
Kemudian dilakukan pengambilan air untuk membersihkan benda-benda pusaka dari tujuh sumber mata air: 1. Mata air Situ Lengkong, 2. Karantenan, 3. Kapunduhan, 4. Cipanjalu, 5. Kubangkelong, 6. Pasanggrahan dan 7. Kulah Bongbang Kancana. Pengambilan air dilakukan oleh kuncen Bumi Alit atau petugas yang ditunjuk. Keperluan lain yang diperlukan dalam upacara adalah sesajen yang terdiri dari tujuah macam dan ditambah umbi-umbian, ke tujuh macam itu adalah: 1. ayam panggang, 2. tumpeng nasi merah, 3. tumpeng nasi kuning, 4. ikan dari Situ Lengkong, 5. sayur daun kelor, 6. telur ayam kampung dan 7. umbi-umbian. Selain itu juga ditambah tujuah macam minuman yaitu : 1. kopi pahit, 2. kopi manis, 3. air putih, 4. air teh, 5. air mawar, 6. air bajigur, dan 7. rujak pisang. Perlengkapan yang lain yang diperlukan dalam upacara adalah sembilan payung dan kesenian Gemyung untuk mengiringi jalannya upacara.
Sebelum upacara adat sakral Nyangku dilaksanakan, pada malam harinya diadakan suatu acara Mauludan untuk memperingati kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para sesepuh Panjalu serta masyarakat yang datang dari berbagai penjuru dengan susunan acara biasanya:
1. Pembuka,
2. Pembacaan ayat suci Alqur’an diteruskan dengan tawasul dan membaca berzanzi,
3. Penjelasan atau riwayat singkat pelaksanaan Nyangku oleh ketua Yayasan Boros ngora yaitu Bapak H. Atong Cakradinata,
4. Sambutan-sambutan.
1. Wakil dari pemerintah daerah
2. Sesepuh Panjalu
3. Kasi kebudayaan Depdiknas Kabupaten Ciamis
4. Uraian Maulid Nabi.
5. Do’a dan tutup dilanjutkan dengan acara kesenian Gemyung yang dilaksanakan semalam suntuk sampai pukul 03.00.
Pada pagi harinya dengan berpakaian adat kerajaan, para sesepuh Panjalu dan keluarga besar Yayasan Borosngora berjalan beriringan menuju Bumi alit, tempat benda-benda pusaka disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan sholawat Nabi Muhammad SAW, kemudian benda pusaka yang sudah dibungkus dengan kain putih mulai disiapkan untuk segera diarak menuju tempat pembersihan.
Perjalanannya dikawal oleh peserta upacara adat serta diiringi dengan musik gemyung dan bacaan sholawat Nabi. Benda-benda pusaka diarak kurang lebih sejauh1 Km menuju Nusa Gede Situ Lengkong. Pada upacara Nyangku selain diiringi oleh musik gemyung juga didiringi oleh upacara adat. Barisan pembawa bendera umbul-umbul, penabuh gemyung dan barisan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan dengan para pembawa bendera pusaka.
Kemudian setelah sampai di Situ Lengkong dengan perahu mereka menuju Nusa Gede dengan dikawal oleh perahu sebanyak 20 buah, kemudian diarak kembali menuju bangunan kecil yang ada di Nusa gedeberupa bangku yang beralaaskan kasur yang khusus dibuat untuk upacara Nyangku. Benda-benda pusaka kemudian disimpan di atas kasur tersebut dan satu persatu mulai dibuka bungkusnya lalu diperlihatkan kepada pengunjung sambil dibacakan riwayatnya oleh H. Atong Cakradinata. Setelah itu benda-benda pusaka mulai dibersihkan dengan air dari tujuh sumber memakai jeruk mipis. Yang pertama kali dibersihkan adalah pedang Sanghyang Boros Ngora. Setelah selesai dicuci lalu dioles minyak kelapa yang dibuat khusus lalu dibungkus dengan cara melilitkan zanur (daun Kelapa muda) kemudian dibungkus kembali dengan kain putih yang terdiri dari tujuh lapis, kemudian memakai tali dari benang boeh dan dikeringkan dengan asap kemenyan, setelah itu disimpan kembali di Bumi alit.
Pelaksanaan upacara adat sakral Nyangku tidak selamanya dilaksanakan di balai desa atau di alun-alun tergantung situasi dan kondisi. Namun walaupun dilaksanakan di balai desa atau di alun-alun tetapi tidak mengurangi kesakralannya. Kadang-kadang sebelum rombongan datang ke bale desa, diadakan penjemputan dengan karesmen adat seolah-olah yang datang itu calon pengantin pria dan diramaikan oleh berbagai kesenian diluar kesenian Gemyung. Bahkan di alun-alun seminggu sebelum hari H, Nyangku sudah ada kegiatan pasar malam.
Benda-benda yang dibersihkan pada upacara adat sakral Nyangku adalah diantaranya sebagai berikut:
1. Pedang sebagai senjata pembela diri dalam rangka menyebarkan agama Islam.
2. Cis sebagai senjata pembela dalam rangka menyebarkan agama Islam
3. Kujang bekas membelah belanga yang menutupi kepala Bombang Kancana.
4. Keris komando senjat bekas para raja Panjalu sebagai tongkat komando.
5. Keris pegangan para Bupati Panjalu.
6. Pancaworo senjata perang
7. Bangreng merupakan senjata perang
8. Gong kecil alat untuk mengumpulkan rakyat dimasa yang dulu
9. Semua Benda Pusaka yang ada di keluarga Yayasan Borosngora dan benda pusaka yang ada dimasyarakat Panjalu.
Bumi Alit
Bumi Alit merupakan suatu bangunan tempart enyimpanan benda-benda pusaka kerajan sewaktu Kerajaan Panjalu berdiri sampai sekarang. Letak Bumi Alit tidak jauh dari Situ Lengkong, tempatnya terletak dekat terminal Panjalu. Bumi Alit yaitu suatubangunan kecil yang ditempatkan pada suatu tempat yang diberi nama “Pasucian”. Nama pasucian diberikan oleh pendirinya yaitu seorang Raja Panjalu yang bernama Prabu Sanghyang Boros Ngora atau Syeh Haji Dul Imam, yang merupakan Raja Panjalu yang memeluk agama Islam.
Bumi Alit atau pasucian pada awalnya terletak di Buni Sakti, kemudian dipindahkan ke Desa Panjalu oleh Prabu Sanghyang Boros Ngora bersamabenda-benda pusaka Kerajaan Panjalu.
Bentuk Bumi Alit yang lama masih berbentuk tradisional, tenmpatnya masih berupa tanaman lumut yang dibatasi oleh batu-batu besar. Sedangkan disekelilingnya dipagari oleh tanaman waregu, di tengah tanaman itu berdiri bangunan Bumi alit yang berukuran besar. Bangunan yang dulu terbuat dari kayu, bambu dan ijuk, bawahnya bertiang tinggi, badan bangunan berdinding bilik sedangkan atapnya dari suhunan ijuk berbentuk pelana. Ujung bungbung menciut berujung runcing dan ditutup dengan papan kayu berukir. Pada sisi bagian barat terdapat pintu kecil yang depannya terdapat tangga kayu yang kuat dari kayu balok tebal.
Bumi Alit yang sekarang ini adalah hasil dari pemugaran pada tahun 1955 yang dilaksanakan oleh warga Panjalu dan sesepuh Panjalu yang bernama R.H. Sewaka, Alm.
Sedangkan bentuk bangunan Musium Bumi Alit yang sekarang ini adalah campuran bentuk modern dengan bentuk masjid jaman dahhulu yang beratapkan susun tiga. Pintu masuk ke Musium Bumi alit terdapat patung ular bermahkota dan dipintu gerbang atau gapura terdapat patung kepala gajah.
Pemeliharaan Musium Bumi Alit dilakukan oleh pemerintah desa Panjalu dibawah pengawasan Departemen pendidikan dan kebudayaan Kabupaten Ciamis.
Siloka
Berbicara tentang siloka memang orang-orang jaman dahhulu sering segala sesuatu pepatah dinyatakan dengan siloka.
Contoh:
* Ø Gayung Bungbas adalah siloka diri manusia seperti Rusa/Gayung Bungbas. Bila pagi-pagi diisi makanan, sorenya akan kosong. Ia (terbuang airnya) dan akan minta diisi lagi. Bila hidup hanya untuk makan/memuaskan nafsu tidak akan ada puasnya, manusia jadi rakus dan kosong tiada arti. Agar hidup jadi berarti, orang mesti beragama, beriman, berilmu, beramal baik/beramal soleh.
* Ø Gayung Bungbas dapat penuh dengan air zamzam, berarti isilah diri dengan agama/kesucian.
* Ø Gayung Bungbas dapat penuh dengan air zamzam, berarti isilah diri dengan agama/kesucian.
* Ø Situ Lengkong yang berasal dari air zamzam, dijadikan Benteng keraton, mengandung siloka yang berarti: “Tiada penangkal hidup yang baik, kecuali kesucian, yaitu suci di dalam hati, suci dalam ucap, suci dalam perbuatan dan suci dalam makanan dan pakaian”.
Pengalaman Prabu Anom Syang Hyang Borosngora sendiri sewaktu muda dimana beliau telah memiliki berbagai ilmu gaib penangkal hidup, ternyata tidak mampu melawan ilmu ajaran Nabi yang dimiliki Sayidina Ali RA.
Dari situ lahirlah petuah Panjalu. Petuah yang bernapaskan Islam.
“MANGAN KARNA HALAL, PAKE KARNA SUCI TEKAD – UCAP-LAMPAH – SABEUNEURE”
Prabu Syang Hyang Borosngora menjadikan Situ Lengkong tersebut untuk sumber air minum dan tidak boleh dikotori, bagi penduduk di kala itu, artinya orang Panjalu hendaklah berdarah air zamzam. Agar orang Panjalu berbakat suci, hidup dalam agama. Selain itu pula, gelar Syang Hyang Borosngora , adalah gelar siloka. Boros artinya Rebung yang tumbuh disela-sela induknya menerobos lapisan-lapisan tanah, sisa-sisa hutan belukar merupakan tatanan kehidupan lama, lalutimbuh dan berkembang, mengembang sebagai pembaharuan, membawa benih tatanan hidup baru yang lebih baik dan lebih maju.
Sejarah Galuh maupun sejarah Panjalu kebanyakan mengambil data-data dari cerita rakyat yang ditulis atau diceritakan lagi oleh masyarakat secara turun temurun yang tulisannya maupun isinya rata-rata berbau mitos sesuai dengan jamannya.
Dari pengumpulan data-data yang dikimpulkan oleh penulis selama 10 tahun lebih, ternyata didapatkan bermacam-macam versi. Walaupun demikian, nama tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu hampir sama. Sedangkan yang membedakannya hanyalah cerita darimana tokoh itu berasal dan kapan memerintahnya.
Nama tokoh dimulai dari pendiri Kerajaan Panjalu yaitu Rangga Gumilang terus Lembu Sampulur, Cakra Dewa, Borosngora, Hariang Kencana sampai Bupati terakhir yaitu Rd. Cakradinata III.
Yang membedakan adalah asal usul tokoh tersebut, karena setiap cerita rakyat yang diceritakan masyarakat secara turuntemurun maupun cerita rakyat yang ditulis pada naskah kuno berrbeda kisahnya sehingga untuk menentukan tahun serta masa pemerintahannya sangat sukar dan akan berbeda pendapat.
Salah satu contoh untuk menetukan masa atau tahun berdirinya Kerajaan Panjalu apakah abad ke VII atau abad ke XIII atau abad ke XV. Ini adalah tantangan bagi para ahli sejarah terutama akademika untuk terus menyelusurinya.
Para Raja dan Bupati Panjalu
1. Prabu Rangga gumilang
2. Lembu Sampulur putra Rangga Gumilang
4. Prabu Cakra Dewa
5.Prabu Borosngora
6. Hariang Kuning
7. Hariang Kencana
8. Dipati Hariang Kuluk Kukunang Teko
9. Dipati Hariang Kanjut Kandalikancana
10. Dipati Hariang Martabaya
11. Dipati Hariang Kunang Natabaya
12. Aria Sumalah
13. Aria Secamata (Aria Salingsingan)
14. Dalem Aria Wirabaya
15. Dalem Wirapraja
16. Rd. Tmg Cakranegara I
17. Rd. Tmg Cakranagara II
18. Rd. Tmg Cakranagara III
PANGANDARAN
Pangandaran sekarang menjadi nama desa, nama kecamatan, nama kewadanaan, dan nama ibukota Kecamatan Pangandaran. Kecamatan Pangandaran dengan jumlah penduduk 69.646, luas 14.132 Ha, didukung oleh hotel dan penginapan sebanyak 203 buah menjadikan daerah Pangandaran sebagai daerah pariwisata. Selain keindahan pantainya, Pangandaan memiliki Cagar Alam Pananjung, yang luasnya 530 Ha, di dalamnya terdapat gua-gua alam dan Situs Batu Kalde yang diperkirakan sebagai peninggalan Kerajaan Pananjung pada abad sekitar 15.
Pananjung selain sebagai cagar alam dibawah pengawasan KSDA (Konservasi sumber Daya Alam) juga merupakan perlindungan terhadap binatang langka yaitu Banteng.
Pada tahun 1985 di Cagar Alam Pananjung ditemukan bunga bangkai yang disebut Rafflesia yang sekarang atas prakasa Bapak Bupati H. Dedem Ruchlia dijadikan Maskot Kabupaten Ciamis yang sekarang berdiri megah di Taman bunga Alun-alun Ciamis.
Sebelum tahun 1985 ke Pangandaran selain menggunakan jalan aspal kita dapat menggunakan jasa kereta api yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1912.
Bermacam kenangan menurut orang tua yang pernah naik kerketa api mulai naik dari kereta api lokomotif sampai tahun 1970, dan diteruskan dengan kereta disel sampai tahun 1985.
Disamping terowongan , yang sangat unik adalah jembatan yang sangat panjang bagi ukuran di Jawa Barat, yaitu Cikacepit yang panjangnya 268,8 m, dan jembatan Panarekean yang panjangnya 270 m dengan ketinggian 62,6 m. Kenangan bagaimana di dalam terowongan selama beberapa menit yang gelap gulita dipakai oleh para penumpang sebagai kenangan yang tidak terlupakan. Pemandangan yang sangat indah mulai dari stasiun Kalipucang sampai Pangandaran, karena selain melewati lereng-lereng gunung yang menghijau juga terlihat hamparan Laut Hindia.
Kenangan itu akan diwujudkan kembali, karena mulai awal 1998 jalan kereta api yang sudah terhenti selama 15 tahun yang diakibatkan meletusnya Gunung Galunggung pada ahun 1982 sedang dibangun kembali oleh PJKA bersama pemerintah daerah setempat.
Pangandaran adalah salah satu daerah wisata yang merupakan “basisnya” Ronggeng Gunung yang tersebar di beberapa desa.
Nama Pangandaran tidak tiba-tiba menjelma begitu saja tapi memang mengandung riwayatnya tersendiri yang lahir tanpa papan nama.
Menurut orang tua, hal ikhwal Pangandaran berasal dari kata Pangan dan Andar-andar. Sudah barang tentu yang namanya pangan adalah makanan, sedangkan andar-andar identik dengan orang pendatang baru. Jadi harfiahnya dalam logat Jawa “Wong golek pangan” atau mencari nafkah. Suku ‘an’ di sana bukan merupakan akhiran sebagaimana termaktub dalam EYD, melainkan hanya sebagai akibat yang tujuannya untuk memperlengkap nama saja yang acuannya untuk mempermudah sebutan supaya lebih komunikatif.
Nama Pangandaran sudah tidak asing lagi bagi kita. Pangandaran adalah suatu kawasan wisata yang potensial di Ciamis Selatan, Jawa Barat, yang merupakan sumber petro dollar sang primadona yang banyak meraup keuntungan.
Letak geografisnya sangat strategis dan menguntungkan, dan seperti umumnya daerah pantai, kehidupan utama masyarakat di sekitarnya adalah nelayan. Bahasa yang merupakan alat komunikasi sehari-hari jika ditelusuri atau ditelaah tercatat ada 3, yaitu (1) yang mendominasi adalah Bahasa Jawa, (2) Bahasa Sunda, dan (3) Bahasa “Jawa Reang” sebagai pengganti istilah bahasa campuran. Namun uniknya kendatipun masyarakatnya berlatar belakang Jawa, tapi yang hidup dan telah memasayarakat adalah kebudayaan tradisional Seni Tari Sunda yang terkenal dengan sebutan “Ronggeng Gunung”. Seni lain yang ada di daerah itu di antaranya adalah Ronggeng Doger dan Ibing Tayub (keduanya sama sekali berbeda dengan ronggeng Gunung). Seni lain yang ada tapi tidak populer di daerah itu adalah Kuda lumping atau Ebeng, Sintren, Janeng, dan Wayang Kulit.
Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya
Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739-766).
Manarah, dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan memerintah di Galuh antara tahun 739-783.[4] Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya, yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua, tapi juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru, yang ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat.
Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga; sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).
Hubungan Sunda Galuh dan Sriwijaya
Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Hubungan dengan berdirinya Majapahit
Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota Rakeyan Jayadarma, dan berkedudukan di Pakuan. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Rakeyan Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur, karena ia berjodoh dengan putrinya bernama Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Ateleng, yang merupakan anak dari Ken Angrok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.
Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya yang dikatakan terlahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke-4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, Raden Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.
Dalam Babad Tanah Jawi Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pasundan. Sebagai keturunan Jayadarma, ia adalah penerus tahta Kerajaan Sunda-Galuh yang sah, yaitu apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu mangkat. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota, karena Raden Wijaya berada di Jawa Timur dan kemudian menjadi raja pertama Majapahit.
Daftar raja-raja Sunda Galuh
Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati, yang berjumlah 20 orang :
Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati
No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Maharaja Tarusbawa 669-723
2 Sanjaya Harisdarma 723-732 cucu-menantu no. 1
3 Tamperan Barmawijaya 732-739
4 Rakeyan Banga 739-766
5 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766-783
6 Prabu Gilingwesi 783-795 nmenantu no. 5
7 Pucukbumi Darmeswara 795-819 menantu no. 6
8 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891
9 Prabu Darmaraksa 891-895 adik-ipar no. 8
10 Windusakti Prabu Dewageng 895-913
11 Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi 913-916
12 Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa 916-942 menantu no. 11
13 Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa 942-954
14 Limbur Kancana 954-964 anak no. 11
15 Prabu Munding Ganawirya 964-973
16 Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung 973-989
17 Prabu Brajawisesa 989-1012
18 Prabu Dewa Sanghyang 1012-1019
19 Prabu Sanghyang Ageng 1019-1030
20 Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati 1030-1042
Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13 orang :
Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon
No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Wretikandayun 670-702
2 Rahyang Mandiminyak 702-709
3 Rahyang Bratasenawa 709-716
4 Rahyang Purbasora 716-723 sepupu no. 3
5 Sanjaya Harisdarma 723-724 anak no. 3
6 Adimulya Premana Dikusuma 724-725 cucu no. 4
7 Tamperan Barmawijaya 725-739 anak no. 5
8 Manarah 739-783 anak no. 6
9 Guruminda Sang Minisri 783-799 menantu no. 8
10 Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan 799-806
11 Sang Walengan 806-813
12 Prabu Linggabumi 813-852
13 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891 ipar no. 12
Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14 orang :
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Darmaraja 1042-1065
2 Langlangbumi 1065-1155
3 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155-1157
4 Darmakusuma 1157-1175
5 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175-1297
6 Ragasuci 1297-1303
7 Citraganda 1303-1311
8 Prabu Linggadéwata 1311-1333
9 Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 menantu no. 8
10 Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350
11 Prabu Maharaja Linggabuanawisésa 1350-1357 tewas dalam Perang Bubat
12 Prabu Bunisora 1357-1371 paman no. 13
13 Prabu Niskala Wastu Kancana 1371-1475 anak no. 11
14 Prabu Susuktunggal 1475-1482
Penyatuan kembali Sunda-Galuh
Saat Wastu Kancana wafat, kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam pemerintahan anak-anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh).
Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Setelah runtuhnya Sunda Galuh oleh Kesultanan Banten, bekas kerajaan ini banyak disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.
Pusat Pemerintahan Berpindah-pindah
Telah dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895) dibunuh oleh seorang menteri Sunda yang fanatik.
Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25, yaitu Prabu Guru Darmasiksa mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian wilayah maupun dalam pengertian etnik. Menurut Pustaka Paratwan i Bhumi Jawadwipa, Parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota Tarumanagara yang baru didirikannya, Sundapura. Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena Sundapura mengandung arti kota suci atau kota murni, sedangkan Galuh berarti permata atau batu mulia (secara kiasan berarti gadis).
Dampak Sosial yang Ditimbulkan
Proses kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita) namun pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu "orang air", sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos buaya", yang lain "mitos harimau".
Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama Panereban. Tempat yang bernama demikian pada masa silam merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus "dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang Kanekes yang masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan tradisi "ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah panereban dan pasarean).
Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu "Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas Sunda ini sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan masyarakat, padahal mereka tahu, bahwa dalam kenyataan sehari-hari monyet dan kuya itu bertemu saja mugkin tidak pernah (di kebun binatang pun tidak pernah diperkenalkan).
Peran bergeser ke timur
Dalam abad ke 14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali (artinya kuali atau belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Sebenarnya gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa pemerintahan Prabu Ragasuci (1297-1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya Prabu Citraganda, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Ragasuci sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya Rakeyan Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, yang lahir di Pakuan.
Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja Majapahit yang pertama.
Sementara itu, kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci, Citraganda, sebagai calon ahli warisnya. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa, puteri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana isteri Kertanegara. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Prabu Lingga Dewata, putera Citraganda, mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340 sudah berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333-1482 adalah Jaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal lima orang raja.
Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di Astana Gede, Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di medan Bubat dalam tahun 1357. Ketika terjadi Pasunda Bubat, usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean, sedangkan dalam Babad Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.
Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir Sang Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang kedua adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinannya dengan Mayangsari lahir Ningrat Kancana, yang setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. Jayadewata, putera Dewa Niskala, mula-mula memperistri Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian memperistri Subanglarang. Yang terakhir ini adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura.
Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama dua tahun. Ia adalah nenek Syarif Hidayatullah.
Kemudian Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan.
Ciung Wanara memang menarik untuk ditelusuri, karena selain menyangkut cerita tentang Kerajaan Galuh, juga dibumbui dengan hal luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.
Kisah Ciung Wanara merupakan cerita tentang kerajaan Galuh (sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit dan Pajajaran). Tersebutlah raja Galuh saat itu Prabu Adimulya Sanghyang Cipta Permana Di Kusumah dengan dua permaisuri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Mendekati ajal tiba Sang Prabu mengasingkan diri dan kekuasaan diserahkan kepada patih Bondan Sarati karena Sang Prabu belum mempunyai anak dari permaisuri pertama (Dewi Naganingrum). Singkat cerita, dalam memerintah raja Bondan hanya mementingkan diri sendiri, sehingga atas kuasa Tuhan Dewi Naganingrum dianugerahi seorang putera, yaitu Ciung Wanara yang kelak akan menjadi penerus kerajaan Galuh dengan adil dan bijaksana.
Bila kita telusuri lebih jauh kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda, berada dalam sebuah tempat berupa struktur bangunan terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.
Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan kisah, begitu pula beberapa lokasi lain yang terdapat di dalamnya yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau cerita tentang kerajaan Galuh seperti ; pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.
Situs Karangkamulyan merupakan peninggalan Kerajaan Galuh Pertama menurut penyelidikan Tim dari Balar yang dipimpin oleh Dr Tony Jubiantoro pada tahun 1997. Bahwasannya di tempat ini pernah ada kehidupan mulai abad ke IX, karena dalam penggalian telah ditemukan keramik dari Dinasti Ming. Situs ini terletak antara Ciamis dan Banjar, jaraknya sekitar 17 km ke arah timur dari kota Ciamis atau dapat ditempuh dengan kendaraan sekitar 30 menit.
Situs ini juga dapat dikatakan sebagai situs yang sangat strategis karena berbatasan dengan pertemuan dua sungai yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur, dengan batas sebelah utara adalah jalan raya Ciamis-Banjar, sebelah selatan sungai Citanduy, sebelah barat merupakan sebuah pari yang lebarnya sekitar 7 meter membentuk tanggul kuno, dan batas sebelah timur adalah sungai Cimuntur. Karena merupakan peninggalan sejarah yang sangat berharga, akhirnya kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya oleh Pemerintah.
Udara yang cukup sejuk terasa ketika kita memasuki gerbang utama situs ini. Tempat parkir yang luas dengan pohon-pohon besar disekitar semakin menambah sejuk Setelah gerbang utama, situs pertama yang akan kita lewati adalah Pelinggih ( Pangcalikan ). Pelinggih merupakan sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih serta berbentuk segi empat, termasuk ke dalam golongan / jenis yoni ( tempat pemujaan ) yang letaknya terbalik, digunakan untuk altar. Di bawah Yoni terdapat beberapa buah batu kecil yang seolah-olah sebagai penyangga, sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen ( kubur batu ). Letaknya berada dalam sebuah struktur tembok yang lebarnya 17,5 x 5 meter.
Sahyang Bedil
Tempat yang disebut Sanghyang Bedil merupakan suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6.20 x 6 meter. Tinggi tembok kurang lebih 80 cm. Pintu menghadap ke arah utara, di depan pintu masuk terdapat struktur batu yang berfungsi sebagai sekat (schutsel). Di dalam ruangan ini terdapat dua buah menhir yang terletak di atas tanah, masing-masing berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Bentuknya memperlihatkan tradisi megalitik. Menurut masyarakat sekitar, Sanghyang Bedil dapat dijadikan pertanda datangnya suatu kejadian, terutama apabila di tempat itu berbunyi suatu letusan, namun sekarang pertanda itu sudah tidak ada lagi.
Penyabungan Ayam
Tempat ini terletak di sebelah selatan dari lokasi yang disebut Sanghyang Bedil, kira-kira 5 meter jaraknya, dari pintu masuk yakni berupa ruang terbuka yang letaknya lebih rendah. Masyarakat menganggap tempat ini merupakan tempat sabung ayam Ciung Wanara dan ayam raja. Di samping itu merupakan tempat khusus untuk memlih raja yang dilakukan dengan cara demokrasi.
Lambang Peribadatan
Batu yang disebut sebagai lambang peribadatan merupakan sebagian dari kemuncak, tetapi ada juga yang menyebutnya sebagai fragmen candi, masyarakat menyebutnya sebagai stupa. Bentuknya indah karena dihiasi oleh pahatan-pahatan sederhana yang merupakan peninggalan Hindu. Letak batu ini berada di dalam struktur tembok yang berukuran 3 x 3 m, tinggi 60 cm. Batu kemuncak ini ditemukan 50 m ke arah timur dari lokasi sekarang. Di tempat ini terdapat dua unsur budaya yang berlainan yaitu adanya kemuncak dan struktur tembok. Struktur tembok yang tersusun rapi menunjukkan lapisan budaya megalitik, sedangkan kemuncak merupakan peninggalan agama Hindu.
Panyandaran
Terdiri atas sebuah menhir dan dolmen, letaknya dikelilingi oleh batu bersusun yang merupakan struktur tembok. Menhir berukuran tinggi 120 cm, lebar 70 cm, sedangkan dolmen berukuran 120 x 32 cm. Menurut cerita, tempat ini merupakan tempat melahirkan Ciung Wanara. Di tempat itulah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi Naganingrum yang kemudian bayi itu dibuang dan dihanyutkan ke sungai Citanduy. Setelah melahirkan Dewi Naganingrum bersandar di tempat itu selama empat puluh hari dengan maksud untuk memulihkan kesehatannya setelah melahirkan.
Cikahuripan
Di lokasi ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi hanya merupakan sebuah sumur yang letaknya dekat dengan pertemuan antara dua sungai, yaitu sungai Citanduy dan sungai Cimuntur. Sumur ini disebut Cikahuripan yang berisi air kehidupan, air merupakan lambang kehidupan, itu sebabnya disebut sebagai Cikahuripan. Sumur ini merupakan sumur abadi karena airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.
Dipati Panaekan
Di lokasi makam Dipati Panaekan ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi merupakan batu yang berbentuk lingkaran bersusun tiga, yakni merupakan susunan batu kali. Dipati Panaekan adalah raja Galuh Gara Tengah yang berpusat di Cineam dan mendapat gelar Adipati dari Sultan Agung Raja Mataram.
Setelah puas mengelilingi Situs ini, puluhan warung makan dengan menu khasnya pepes ayam dan pepes ikan mas merupakan pelengkap ketika kita berkunjung ke tempat ini. Apalagi minumannya air kelapa alami langsung dari buahnya semakin menambah asyiknya suasana. Walaupun hanya berupa situs-situs purbakala tampaknya tempat ini dikelola dengan cukup bagus, terbukti dengan kebersihan yang cukup terjaga di sekitar lokasi.
Makam - makam
Grup ini dibuat bukan untuk membuat kita jadi musyrik atau meninggalkan aqidah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa tetapi mempunyai tujuan agar tali persaudaraan khususnya orang Sunda makin kuat dan masing-masing dapat mengetahui identitasnya sebagai orang Sunda. Berikut adalah karuhun-karuhun dan letak makam-makamnya:
Seri I
1. Pangeran Jayakarta (Rawamangun Jakarta)
2. Eyang Prabu Kencana (Gunung Gede, Bogor)
3. Syekh Jaenudin (Bantar Kalong)
4. Syekh Maulana Yusuf (Banten)
5. Syekh Hasanudin (Banten)
6. Syekh Mansyur (Banten)
7. Aki dan Nini Kair (Gang Karet Bogor)
8. Eyang Dalem Darpa Nangga Asta (Tasikmalaya)
9. Eyang Dalem Yuda Negara (Pamijahan Tasikmalaya)
10. Prabu Naga Percona (Gunung Wangun Malangbong Garut)
11. Raden Karta Singa (Bunarungkuo Gn Singkup Garut)
12. Embah Braja Sakti (Cimuncang, Lewo Garut)
13. Embah Wali Tangka Kusumah (Sempil, Limbangan Garut)
14. Prabu Sada Keling (Cibatu Garut)
15. Prabu Siliwangi (Santjang 4 Ratu Padjadjaran)
16. Embah Liud (Bunarungkup, Cibatu Garut)
17. Prabu Kian Santang (Godog Suci, garut)
18. Embah Braja Mukti (Cimuncang, Lewo Garut)
19. Embah Raden Djaenuloh (Saradan, Jawa Tengah)
20. Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya)
21. Eyang Siti Fatimah (Cibiuk, Leuwigoong Garut)
22. Embah Bangkerong (Gunung Karantjang)
23. Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
24. Eyang Prabu Tadji Malela (Gunung Batara Guru)
25. Prabu Langlang Buana (Padjagalan, Gunung Galunggung)
26. Eyang Hariang Kuning (Situ Lengkong Pandjalu Ciamis)
27. Embah Dalem Salinggih (Cicadas, Limbangan Garut)
28. Embah Wijaya Kusumah (Gunung Tumpeng Pelabuhan Ratu)
29. Embah Sakti Barang (Sukaratu)
30. Syekh Abdul Rojak Sahuna (Ujung Kulon Banten)
31. Prabu Tjanar (Gunung Galunggung)
32. Sigit Brodjojo (Pantai Indramayu)
33. Embah Giwangkara (Djayabaya Ciamis)
34. Embah Haji Puntjak (Gunung Galunggung)
35. Dewi Tumetep (Gunung Pusaka Padang, Ciamis)
36. Eyang Konang Hapa (Dayeuh Luhur, Sumedang)
37. Embah Terong Peot (Dayeuh Luhur, Sumedang)
38. Embah Sayang Hawu (Dayeuh Luhur, Sumedang)
39. Embah Djaya Perkasa (Dayeuh Luhur, Sumedang)
40. Prabu Geusan Ulun (Dayeuh Luhur, Sumedang)
41. Nyi Mas Ratu Harisbaya (Dayeuh Luhur, Sumedang)
42. Eyang Anggakusumahdilaga (Gunung Pusaka Padang Ciamis)
43. Eyang Pandita Ratu Galuh Andjarsukaresi (Nangerang)
44. Embah Buyut Hasyim (Tjibeo Suku Rawayan, Banten)
45. Eyang Mangkudjampana (Gunung Tjakrabuana, Malangbong Garut)
46. Embah Purbawisesa (Tjigorowong, Tasikmalaya)
47. Embah Kalidjaga Tedjakalana (Tjigorowong, Tasikmalaya)
48. Embah Kihiang Bogor (Babakan Nyampai, Bogor)
49. Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
50. Embah wali Mansyur (Tomo, Sumedang)
51. Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
52. Sunan Rumenggang (Gunung Batara Guru)
53. Embah Hadji Djaenudin (Gunung Tjikursi)
54. Eyang Dahian bin Saerah (Gunung Ringgeung, Garut)
55. Embah Giwangkarawang (Limbangan Garut)
56. Nyi Mas Layangsari (Gunung Galunggung)
57. Eyang Sunan Cipancar (Limbangan garut)
58. Eyang Angkasa (Gunung Kendang, Pangalengan)
59. Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)
60. Eyang Puspa Ligar (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
61. Kimandjang (Kalapa 3, Basisir Kidul)
62. Eyang Andjana Suryaningrat (Gunung Puntang Garut)
63. Gagak Lumayung (Limbangan Garut)
64. Sri Wulan (Batu Hiu, Pangandaran Ciamis)
65. Eyang Kasepuhan (Talaga Sanghiang, Gunung Ciremai)
66. Aki Manggala (Gunung Bentang, Galunggung)
67. Ki Adjar Santjang Padjadjaran (Gunung Bentang, Galunggung)
68. Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
69. Embah Hadji Muhammad Pakis (Banten)
70. Eyang Boros Anom (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
71. Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
72. Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
73. Embah Dalem Kasep (Limbangan Garut)
74. Eyang Imam Sulaeman (Gunung Gede, Tarogong)
75. Embah Djaksa (Tadjursela, Wanaraja)
76. Embah Wali Kiai Hadji Djafar Sidik (Tjibiuk, Garut)
77. Eyang Hemarulloh (Situ Lengkong Pandjalu)
78. Embah Dalem (Wewengkon, Tjibubut Sumedang)
79. Embah Bugis (Kontrak, Tjibubut Sumedang)
80. Embah Sulton Malikul Akbar (Gunung Ringgeung Garut)
81. Embah Dalem Kaum (Mesjid Limbangan Garut)
82. Mamah Sepuh (Pesantrean Suralaya)
83. Mamah Kiai Hadji Yusuf Todjiri (Wanaradja)
84. Uyut Demang (Tjikoneng Ciamis)
85. Regregdjaya (Ragapulus)
86. Kiai Layang Sari (Rantjaelat Kawali Ciamis)
87. Embah Mangun Djaya (Kali Serayu, Banjarnrgara)
88. Embah Panggung (Kamodjing)
89. Embah Pangdjarahan (Kamodjing)
90. Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo Garut)
Seri II
1. Embah Dipamanggakusumah (Munjul, Cibubur)
2. Aki Mandjana (Samodja, Kamayangan)
3. Eyang Raksa Baya (Samodja, Kamayangan)
4. Embah Dugal (Tjimunctjang)
5. Embah Dalem Dardja (Tjikopo)
6. Embah Djaengranggadisastra (Tjikopo)
7. Nyi Mas Larasati (Tjikopo)
8. Embah Dalem Warukut (Mundjul, Cibubur)
9. Embah Djaya Sumanding (Sanding)
10. Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding)
11. Embah Djaga Alam (Tjileunyi)
12. Sembah Dalaem Pangudaran (Tjikantjung Majalaya)
13. Sembah Dalem Mataram (Tjipantjing)
14. Eyang Nulinggih (Karamat Tjibesi, Subang)
15. Embah Buyut Putih (Gunung Pangtapaan, Bukit Tunggul)
16. Embah Ranggawangsa (Sukamerang, Bandrek)
17. Eyang Yaman (Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
18. Embah Gurangkentjana(Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
19. Embah Gadjah Putih (Tjikawedukan Gunung Wangun)
20. Ratu Siawu-awu (Gunung Gelap, Pameungpeuk Sumedang)
21. Embah Mangkunegara (Cirebon)
22. Embah Landros (Tjibiru Bandung)
23. Eyang latif (Tjibiru Bandung)
24. Eyang Penghulu (Tjibiru Bandung)
25. Nyi Mas Entang Bandung (Tjibiru Bandung)
26. Eyang Kilat (Tjibiru Bandung)
27. Mamah Hadji Umar (Tjibiru Bandung)
28. Mamah Hadji Soleh (Tjibiru Bandung)
29. Mamah Hadji Ibrahim (Tjibiru Bandung)
30. Uyut Sawi (Tjibiru Bandung)
31. Darya Bin Salmasih (Tjibiru Bandung)
32. Mamah Hadji Sapei (Tjibiru Bandung)
33. Embah Hadji Sagara Mukti (Susunan Gunung Ringgeung)
34. Eyang Istri (Susunan Gunung Ringgeung)
35. Eyang Dewi Pangreyep (Gunung Pusaka Padang Garut)
36. Ratu Ayu Sangmenapa (Galuh)
37. Eyang Guru Adji panumbang (Tjilimus Gunung Sawal)
38. Eyang Kusumah Adidinata (Tjilimus Gunung Sawal)
39. Eyang Rengganis (Pangandaran Ciamis)
40. Ki Nurba’in (Sayuran, Gunung Tjikursi)
41. Buyut Dasi (Torowek Tjiawi)
42. Embah Buyut Pelet (Djati Tudjuh Kadipaten)
43. Embah Gabug (Marongge)
44. Eyang Djayalaksana (Samodja)
45. Nyi Mas Rundaykasih (Samodja)
46. Nyi Mas Rambutkasih (Samodja)
47. Eyang Sanghiang Bongbangkentjana (Ujung Sriwinangun)
48. Eyang Adipati Wastukentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
49. Eyang Nila Kentjana (Situ Pandjalu, Ciamis)
50. Eyang Hariangkentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
51. Embah Dalem Tjikundul (Mande Cianjur)
52. Embah Dalem Suryakentjana (PantjanitiCianjur)
53. Embah Keureu (Kutamaneuh Sukabumi)
54. Ibu Mayang Sari (Nangerang Bandrek Garut)
55. Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek Garut)
56. Embah Sayid Kosim (Gunung Alung Rantjapaku)
57. Embah Bang Sawita (Gunung Pabeasan Limbangan Garut)
58. Uyut Manang Sanghiang (Banten)
59. Eyang Ontjar (Nyampai Gunung Bungrangrang)
60. Eyang Ranggalawe (Talaga Cirebon)
61. Ibu Siti Hadji Djubaedah (Gunung Tjupu Banjar Ciamis)
62. Mamah Sepuh (Gunung Halu Tjililin Bandung)
63. Embah Sangkan Hurip (Ciamis)
64. Embah Wali Abdullah (Tjibalong Tasikmalaya)
65. Mamah Abu (Pamidjahan Tasikmalaya)
66. Embah Dalem Panungtung Hadji Putih Tunggang Larang Curug Emas (Tjadas Ngampar Sumedang)
67. Raden AstuManggala (Djemah Sumedang)
68. Embah Santiung (ujung Kulon Banten)
69. Eyang Pandita (Nyalindung Sumedang)
70. Embah Durdjana (Sumedang)
71. Prabu Sampak Wadja (Gunung Galunggung Tasikmalaya)
72. Nyi Mas Siti Rohimah / Ratu Liongtin (Jambi Sumatera)
73. Eyang Parana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
74. Eyang Singa Watjana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
75. Eyang Santon (Kulur Tjipatujah, tasikmalaya)
76. Eyang Entjim (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
77. Eyang Dempul Wulung (Djaga Baya Ciamis)
78. Eyang Dempul Walang (Djaga Baya Ciamis)
79. Eyang Giwangkara (Djaga Baya Ciamis)
80. Embah Wali Hasan (Tjikarang Bandrek, Lewo Garut)
81. Embah Raden Widjaya Kusumah (Tjiawi Sumedang)
82. Dalem Surya Atmaja (Sumedang)
83. Eyang Rangga Wiranata (Sumedang)
84. Eyang Mundinglaya Dikusumah (Sangkan Djaya, Sumedang)
85. Eyang Hadji Tjampaka (Tjikandang, Tjadas Ngampar Sumedang)
86. Eyang Pangtjalikan (Gunung Ringgeung Garut)
87. Eyang Singa Perbangsa (Karawang)
88. Embah Djaga Laut (Pangandaran)
89. Raden Ula-ula Djaya (Gunung Ringgeung Garut)
90. Raden Balung Tunggal (Sangkan Djaya, Sumedang)
Kerajaan Sumedang Larang :
1. Pangeran Santri (Kusumahdinata I)
2. Prabu Geusan Ulun (Kusumahdinata II)
3. Pangeran Rangga Geumpol I (Kusumahdinata III)
4. Pangeran Rangga Gede (Kusumahdinata IV)
5. Pangeran Rangga Geumpol II (Kusumahdinata V)
6. Pangeran Rangga Geumpol III (Kusumahdinata VI)
7. Tumenggung Tanumaja
8. Pangeran Karuhun (Kusumah dinata VII)
9. Daleum Istri Radjaningrat
10. Daleum Anom (Kusumahdinata VIII)
11. Adipati Surianagara
12. Daleum Panungtung (Adipati Surialaga)
13. Daleum Tanubaya (Taschen Bestur)
14. Wedana Regent (Daleum Aria Satjaoati)
15. Pangeran Kornel (Kusumahdinata IX)
16. Daleum Agung (Adipati Kusumahyuda
17. Daleum Alit (Kusumahdinata X)
18. Daleum Suryadilaga
19. Pangeran Sugih (Suriakusumah Adinata I)
20. Pangeran Mekah (Surya Atmaja)
21. Daleum Bintang (Aria Kusumahdilaga)
22. Daleum Aria
• Sanghiyang Borosngora (sanes Borosanom) nu oge dikenal Sanghiyang Jampang. Manggung (di Jampangkulon Sukabumi)
• Eyang Prabu Hariang Kuning (Kampung Kapunduhan-Panjalu)
• Bongbang Kancana sareng Bongbang Rarang (Garahang-Panjalu).
Lengkepna karuhun Panjalu nu aya catetan di simkuring.
Batara Babarbuana / Ratu Galuring Sajagat (Gunung Bitung-Panjalu), puputra:
• Ratu Sanghiyang Permanadewi (Panjalu)
• Sanghiyang Ratupunggung SangRumahiyang (Talaga)
• Sanghiyang Bleg Tambleg Raja Gumilang (Kuningan)
Prabu Sanghiyang Tisnajati / Batara Layah (Karantenan-Gunung Sawal Panjalu), gaduh putra :
Sanghiyang Ajiputih / Karimunputih / Sajatiputih / Ranggasakti (Karantenan-Gunung Sawal Panjalu), gaduh putra :
• Sanghiyang Ranggagumilang / Ranggawulung (Karantenan-Gunung Sawal Panjalu)
• Ratu Sanghiyang Permana Dewi nikah ka Prabu Sanghiyang gaduh putra:
Prabu Sanghiyang Lembu Sampulur I (Panjalu luhur Gunung Tilu-Panjalu). Sanghiyang Lembu Sampulur I gaduh putra:
Prabu Sanghiyang Tjakradewa (Cipanjalu-Bahara, Panjalu), gaduh putra 6 :
• Prabu Sanghiyang Lembu Sampulur II nu teras ngababakan nyieun nagara di Gunung Tampomas (Sumedang)
• Prabu Sanghiyang Borosngora / Sanghiyang Jampangmanggung (Sampang-Sukabumi),
• Sanghiyang Panjibarani (Dayeuh Luhur-Panjalu)
• Sanghiyang Anggarunting (patilasan - teu acan kapaluruh)
• Sanghiyang Mamprang Artas Wayang (patilasan - teu acan kapaluruh)
• Ratu Pundut Agung dipigarwa ku Prabu Siliwangi (duka tah prabu Siliwangi nu mana)
Sanghiyang Borosngora gaduh putra dua :
• Prabu Sancangkuning / Hariyang Kuning (kampung Kapunduhan-Panjalu)
• Prabu Hariyang Kancana (Nusa Gede Situ Lengkong, Panjalu). Prabu Hariyang Kancana gaduh putra dua :
• Sembah Dalem Ageung / Sembah Agung (Cibeunnying-Panjalu)
• Prabu Hariyang Kuluk Kukunang Teko / Haiyang Kancana Anom (Cilanglung, Kp. Simpar-Panjalu). Prabu Hariyang Kuluk Kukunang Teko/Kancana Anom gaduh putra :
Prabu Hariyang Kanjut Kadali Kancana (Sarumpun Hujungtiwu-Panjalu), gaduh putra:
Hariyang Kada Gayut Martabaya (Hujungwinangun-Panjalu), gaduh putra:
Hariyang Kuning Natabaya (Buninagara, Simpar Panjalu) nu migarwa Eyang N.R Apun Emas (putri Ratu Puni Anjung ti karajaan Kawali), puputra tilu :
• Sembah Dalem Natabaya (Buninagara, Simpar-Panjalu)
• Sembah Dalem Aria Sacanata / Gandakerta / Aria Salingsingan (Desa Bengkong Dayeuhluhur Panjalu)
• Sembah Delem Dipanata (Hujungwiangun, Panjalu)
Sembah Dalem Sumalah Natabaya migarwa Ratu Tilarnagara (putri Sunan Ciburuy Talaga Pangeran Surawijaya) gaduh putra dua:
• Sembah Dalem Wirabaya (Ciramping, Simpar-Panjalu),
• Ratu Brangsakti dipigarwa ku Pangeran Wargadipraja.
Sembah Dalem Aria Sacanata migarwa Ratu Tilarnagara (turun ranjang ti rakana nu pupus) gaduh putra sawelas:
• R. Jiwakrama
• R. Ngabeni Suryamanggala / Sacamanggala
• R. Wiralaksana
• R. Jayawicitra
• Dalem Singalaksana
• Dalem Jiwanagara
• Dalem Wiradipa
• N.R Lenggang Cianjur
• N,R Tilar Cianjur
• N.R. Sari Sukabumi
• Dalem Yuda Serdawa Cianjur.
Sembah dalem Dipanagara gaduh putra :
• Dalem Dipati Aria Sawarga / Dalem Argakusumah ngajabat Bupati Pager Ageung (patilasan di Cisoma-Guranteng).
Tah salajengna mah mancakaki di catetan turunanana sewang-sewangan.
Tawassullan Karuhun Tatar PAsundan
1. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Tuan Syech Abdul Khodir Jaelany dari Bagdad Al Fatihah
2. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Gusti Prabu Siliwangi (Rd.Mandur Kencana H.Sepuh Raja Jawa) Al Fatihah
3. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Prabu Kian Santang (Pangeran Cakra Buwana Sancang Garut Putra Eyang Parbu
Siliwangi Raja Walang Sungsang) Al Fatihah
4. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rara Santang Syarifah Bagdad (Putri Eyang Parbu Siliwangi) Al Fatihah
5. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Kangjeng Pangeran Syarif Hidayatullah Bin Sa’id Abdullah (Cucu Eyang Prabu Siliwangi) Alfatihah
6. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Ibu Pakung Wati Istri Syech Syarif Hidayatullah (adik Sunan KaliJaga Jaka Sa’id) Al Fatihah
7. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Panembahan Kyai Kuwu Sangkan Eyang Tunggal Bango Dua Cirebon Al Fatihah
8. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Syech Magelung Rd.Surya Negara Rama Buyut Lemah Tamba Cirebon Al Fatihah
9. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Abdul Khahfi Cirebon Al Fatihah
10. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Kyai Panjunan Cirebon Al Fatihah
11. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Ibu Ratu Gandasari Arya Winangun Cirebon Putri Embah Kuwu Sangkan Al Fatihah
12. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Dalem Perkosa Bin Batara Kusumah Di Dayeuh Luhur Al Fatihah
13. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Taji Malela Di Dayeuh Luhur Al Fatihah
14. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd.Dalem Wangsa Goparana Talaga Di Sagala Herang Al Fatihah
15. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Mama Syech Abdul Muhyi Waliyulloh Bin Warta Kusuma Pamijahan Tasik Malaya
16. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd. Dalem Pangeran Papak Wijaya Rana Cinunut Garut Al Fatihah
17. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Gusti Adipati Ukur Bandung Abdi Mataram Abdi Mataram Al Fatihah
18. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Ki Buyut Mangun Tapa Karawang Al Fatihah
19. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Ibu Subang Larang Syarifah Mudaim Al Fatihah
20. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd. Pangeran Jayakarta Bin Tubagus Angke Jatinegara Kaum Al Fatihah
21. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd.Pangeran Wijaya Kusumah Batavia Sunda Kelapa Jakarta Al Fatihah
22. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Syech Sultan Hassanudin Banten Putra Mahkota I Sunan Gunung Jati Al Fatihah
23. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Syech Maulana Yusuf Putra Sultan Hassanudin Al Fatihah
24. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Syech Sultan Agung Tirtayasa Putra Syech Maulana Yusuf Al Fatihah
25. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Kyai Tubagus Kurayid Gunung Kencana Al Fatihah
26. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd. Dalem Surya Kencana Cileungsi Bogor Al Fatihah
27. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Haji Guna Wijaya Batu Keraton Ciburial Bogor Al Fatihah
28. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Dipa Maha Warman Sanghyang Tapak Batu Tulis Bogor Al Fatihah
29. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Dalem Jaya Sampurna Sampora Bogor Al Fatihah
30. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Dalem Jaya Sakti Bogor Al Fatihah
31. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Eyang Waruga Jagat Gunung Kapur Al Fatihah
32. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Rd.Pangeran Sukma Sejati Cilacap Al Fatihah
33. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Kyai Singaparna Ulama Ageung Tasik Malaya Al Fatihah
34. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Ambu Mayang Kencana Padalarang Al Fatihah
35. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Mama Kyai Ramli Padalarang Al Fatihah
36. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Embah Buyut Bencoy Maleber Cilamaya Al Fatihah
37. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Embah Tubagus Jabin Cikampek Al Fatihah
38. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Embah Buyut Jago Jonggol Al Fatihah
39. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Embah Buyut Jengkol Patuah Tupuk Cijengkol Tambun Al Fatihah
40. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Embah Buyut Khaer Cimande Gunung Salak Bogor Pencipta Cimande Al Fatihah
41. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Pangeran Sangga Buwana Loji Karawang Al Al Fatihah
42. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Pangeran Suci Manah Wanayasa Purwakarta Al Fatihah
43. SUMA ILA RUHI KHUSUSON Syech Kuro (Lemah Abang) Wadas Karawang Al Fatihah
CMIIW.....
Saya bukan ahli sejarah... cuma ahli copas aja....
salim....
Langganan:
Postingan (Atom)
selamat datang di blog saya
berilah coment sebelum anda meng copy data saya